bakabar.com, KENDAL - Keberadaan Amar Alfikar menjadi perbincangan di Twitter. Itu setelah ia berbagi cerita tentang transisinya dari seorang perempuan menjadi pria.
Ceritanya sebagai transgender jadi menarik, karena Amar tumbuh di tengah keluarga pesantren. Ayahnya seorang kiai, sedangkan ibunya berstatus nyai.Amar lahir di Kendal, Jawa Tengah, pada 11 April 1991. Terlahir sebagai perempuan, ia dinamai Amalia oleh kedua orangtuanya. Sejak kecil, ‘Amalia’ sudah merasa ada sesuatu yang ganjil dalam dirinya. Jiwa lelakinya lebih dominan.
Setelah pergulatan batin yang panjang, Amar mulai menemukan titik terang tentang jati dirinya saat mendengar wejangan dari seorang kiai.
“Sebetulnya yang menarik dari pengalamanku adalah aku mulai mempertanyakan identitas genderku setelah aku bertemu seorang kiai. Kiai ini sangat berpengaruh dalam prosesku menggali diri,” ungkap Amar saat berbincang dengan Wolipop detikcom baru-baru ini.
“Pada suatu momen, beliau pernah mengatakan bahwa yang Tuhan lihat itu, bukan apakah kita laki-laki atau perempuan, tapi yang Tuhan atau Allah lihat adalah ketakwaan kita,” tambah bungsu dari tiga bersaudara ini.
Perlahan-lahan, Amar mulai ‘berdamai’ dengan orientasi seksualitasnya.
Namun, masih ada satu hal yang membebani pikirannya: coming out atau melela kepada orangtua dan keluarga.
Ia khawatir ketika mengaku nanti, orangtuanya yang punya reputasi ‘orang penting’ di lingkungan pesantren di Kendal itu, bakal mengusir atau bahkan tak mengakuinya lagi sebagai anak.
Namun, ketakutan tersebut tak terbukti. Ketika Amar membuka diri, orangtuanya mencoba untuk menerima dengan kepala dingin. “Semuanya butuh proses, tapi untungnya orangtuaku tetap menyayangiku. Mungkin kakak-kakakku yang agak lama menerimanya,” kata Amar.
Setelah kepada keluarga, Amar pun mulai berani membuka diri di luar. Ia melepas hijab dan berpakaian selaiknya seorang pria.
Proses transisi terjadi ketika ia sedang menempuh studi sastra Indonesia di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang, Jawa Tengah.
Celaan seperti ‘calon penghuni neraka’ dan perlakuan bullying sudah menjadi makanannya sehari-hari. Ia bahkan pernah dilecehkan secara seksual.
Amar mengaku sudah kebal dengan ejekan orang, tapi ia tak tega ketika melihat kedua orangtuanya juga harus menghadapi konsekuensi dari pilihan hidupnya sebagai seorang transpria.
Diungkapkan Amar, banyak orang yang mempertanyakan wibawa ayah dan ibunya sebagai seorang Kiai dan Nyai karena membiarkan anak mereka ‘melanggar fitrahnya’. Namun, ayahnya selalu punya cara tersendiri untuk memberi pengertian kepada orang-orang tersebut.
“Bapak selalu menggunakan bahasa-bahasa keagamaan yang merangkul, yang toleran ketika menghadapi pertanyaan seperti itu. Misalnya, ‘Setiap orang punya dosanya masing-masing. Dosa itu kan urusan Tuhan dan memiliki anak seperti ini ujian buat saya sebagai orangtua. Kalau saya tidak bisa menerima anak saya, saya yang gagal sebagai orangtua. Kalau saya menelantarkan anak saya, berarti saya melakukan dosa yang lain karena menyakiti anak sendiri’,” kata Amar menirukan perkataan ayahnya.
Amar bersyukur memiliki orangtua yang toleran dan sangat melindunginya. Di masa transisinya, hubungan Amar dengan kedua orangtua justru semakin erat, terutama dengan sang ibu. Maka ketika ayahnya meninggal beberapa tahun lalu, disusul kemudian oleh ibunya, Amar merasa sangat terpukul. “Aku seperti kehilangan akar,” kata dia.
Suatu kali, tak lama setelah ibunya meninggal, Amar membuka ponsel almarhumah. Betapa terharunya dia ketika mengetahui ibunya selama ini menyimpan perbincangan mereka di Whatsapp.
Semasa hidup, ibunya memang sering curhat soal suka dan duka hidup kepada Amar. Sebaliknya, Amar sering mengirimkan puisi yang dibuatnya khusus untuk sang ibu.
“Di situ aku melihat bahwa penerimaan beliau luar biasa sekali bahwa cinta ibu itu menjadi seperti… aku semakin menyadari bahwa cinta beliaulah yang membuatku tetap bertahan hingga detik ini, dan tetap berjuang untuk melanjutkan hidup dengan segala keterbatasan yang ada dalam diriku,” ungkap Amar yang mengidolakan sosok Gus Dur itu.
Ibunya bahkan menggunakan ‘Amar Alfikar’ untuk menamai nomor kontak Amar. Bukan ‘Amalia’, nama lahir yang ia berikan untuk anaknya.
“Amar Alfikar’ menurutku semacam doa. Karena ‘Amar’ bisa berarti perbuatan, bisa berarti juga mengajak. ‘Alfikar’ itu berpikir. Artinya, aku pengin bahwa sepanjang perjalananku aku terus berpikir, merenung dan merefleksikan setiap perjalananku dan mencari hal-hal yang bisa kurenungi dalam proses hidupku.
Berpikir tidak secara kontekstual tapi juga spiritual,” terang Amar tentang alasannya memilih nama tersebut.
Penerimaan serta kasih sayang yang tulus dari kedua orangtuanya itulah yang memotivasi Amar untuk membagikan kisahnya di Twitter (selain karena pengalaman pelecehan seksual yang pernah dialaminya). Ia mendedikasikan kicauan berseri tersebut untuk mendiang ayah dan ibunya.
Dalam sebuah cuitan susulan setelah utasan viral tersebut, Amar mengaku sudah melalui beberapa prosedur operasi untuk mengafirmasi jenis kelamin pilihannya. Namun, dalam wawancara ini, ia enggan berbicara lebih rinci soal hal tersebut.
Di luar itu, ia berharap, utasan yang berisi kisah penerimaan orangtuanya dapat membantu orangtua lainnya yang mungkin tengah menghadapi situasi yang sama.
“Orangtua yang baik adalah ketika mereka mau belajar untuk memahami bahwa anak bisa jadi memilih jalan yang berbeda dari orangtuanya, anak boleh memiliki pendapat yang berbeda dari orangtuanya. Tetapi itu bukan alasan orangtua untuk mengusir, melukai, atau memaksa anak untuk menjadi bukan dirinya,” kata Amar yang berencana melanjutkan studi pasca-sarjana di bidang hak asasi manusia.
“Jadi aku percaya, kalau orangtuaku masih hidup dan bertemu orangtua dari teman-teman minoritas gender dan seksualitas atau LGBT, maka mungkin Bapak dan Ibuku akan mengatakan, ‘Terimalah anakmu sebagaimana apa adanya dirinya, karena kejujuran anak itu justru merekatkan keluarga,” tuturnya. (dtk)
Editor: Syarif