bakabar.com, JAKARTA – Ketahuan belajar tarian K-popatau Korean Pop, seorang instruktur tari dan beberapa murid di Korea Utara ditangkap.
“Kelompok Inspeksi Anti-Sosialisme menangkap seorang guru tari berusia 30-an mengajari tarian disko bergaya luar negeri ke beberapa murid remaja di Yangji-dong, Kota Pyongsong,” kata seorang warga di Pyongsong kepada Radio Free Asia pada 31 Januari lalu, dilansir CNN Indonesia, Senin (7/2).
Menurut sumber yang dirahasiakan ini, ada USB flash drive yang memuat berbagai lagu asing dan video tarian K-Pop terpasang di layar TV saat guru dan murid itu digerebek pihak berwenang.
“Para murid remaja sedang belajar menari dengan mengikuti koreografi di layar. Kelompok Inspeksi Anti-Sosialisme menyita flash drive itu dan membawa instruktur dan seluruh muridnya ke markas mereka,” cerita sumber itu lagi.
Berita penangkapan ini pun cepat menyebar ke berbagai daerah di Korut. Seorang warga di Sinuiju mengaku telah mendengar juga penangkapan instruktur tari tersebut dua hari sebelum Seollal, sebutan Tahun Baru Imlek di kalangan warga Korea.
“Dari yang saya dengar lewat telepon, perempuan ini (guru tari) mengambil jurusan koreografi di Universitas Seni Pyongsong. Beberapa tahun sebelumnya, ia ditugaskan mengajar di sekolah menengah atas Okchon di Pyongsong,” kata sumber kedua, yang meminta identitasnya dirahasiakan.
“Namun, sulit baginya untuk hidup dengan gaji bulanan guru yang hanya mencapai 3.000 won (Rp48 ribu), jadi ia mencari tambahan dengan membuka kelas tari privat di rumahnya,” lanjutnya.
Menurut sumber ini, para murid mengikuti kelas tari dua kali sepekan dengan biaya untuk satu kali sesi selama dua jam. Satu jam kelas berkisar US$10 (Rp143 ribu).
Sumber itu menuturkan para murid memang lebih bersemangat mempelajari tarian ala Korsel, Amerika Serikat hingga China jika dibandingkan dengan tarian Korut.
Maka dari itu, sumber menuturkan sang instruktur juga diam-diam membuka kelas tarian asal luar negeri.
Pada akhir 2020, Korea Utara mengesahkan Undang-Undang Penghapusan pemikiran dan Budaya Reaksioner. UU itu menghukum setiap warga yang ketahuan mengkonsumsi dan menikmati konten-konten dari negara kapitalis terutama Korea Selatan dan AS.
UU itu melarang warga Korut menonton, menyimpan, hingga mendistribusikan konten seperti drama Korea, lagu K-Pop, hingga media Korsel lainnya.
Warga Korut bahkan tak boleh berbicara dengan gaya bahasa Korsel, terutama seperti penggunaan sapaan oppa kepada kakak laki-laki yang tren di kalangan warga tetangganya di Selatan itu.
Penjara hingga hukuman mati mengancam setiap warga Korut yang melanggar aturan ini.
Seorang warga Korut lainnya mengatakan pada Radio Free Asiakalau Kelompok Inspeksi Anti-Sosialisme pun melakukan penangkapan serupa pada Desember lalu.
Sumber ini bercerita, ada cucu perempuan dari pejabat partai provinsi ketahuan memiliki SD card yang memuat film asal Korsel di ponselnya. Saat diselidiki, cucu pejabat ini menceritakan bagaimana ia bisa mendapatkan SD card itu.
Menurut sumber ini, warga kaya biasanya membeli USB flash drive yang diselundupkan dari China.
Selain itu, sumber ketiga juga menuturkan kebanyakan murid di Korut berasal dari keluarga kaya. Banyak dari mereka yang terhindar dari hukuman karena uang dan kekuatan yang dimiliki keluarganya.
“Namun, karena Komite Sentral telah memerintahkan orang yang melanggar Undang-Undang Penghapusan Pemikiran dan Budaya Reaksioner dihukum berat, terlepas dari pangkat atau kelas mereka, instruktur dan siswa tari yang tertangkap kali ini tidak akan luput dari tindakan keras pihak berwenang,” kata sumber tersebut.
“Orang tua mereka juga kemungkinan akan dihukum dan dipaksa meninggalkan partai,” lanjutnya.