Cuti Kerja

Kebijakan Cuti Khusus Perempuan, Bagaimana Implementasinya?

Perusahaan dan pemerintah kerap sulit mengimplementasikan hak terhadap perempuan saat menstruasi, hamil dan keguguran.

Featured-Image
Kebijakan Cuti Menstruasi, Hamil dan Keguguran pada Perempuan. Foto: Antara

bakabar.com, JAKARTA - Perusahaan dan pemerintah kerap sulit mengimplementasikan hak terhadap perempuan saat menstruasi, hamil dan keguguran.

Pekerja perempuan memiliki satu keunikan yang tidak bisa disamakan dengan kaum pekerja laki-laki.

Banyak di antara mereka harus mengalami menstruasi, masa hamil hingga keguguran yang tidak dapat ditoleransi.

Sudah seharusnya, pemerintah dan perusahaan yang menaungi para pekerja memberikan perlindungan dalam tiga momen tersebut.

Baca Juga: Lemahnya Perlindungan bagi Pekerja Perempuan di Pabrik, Kerap Overtime

Bukan tanpa alasan, hal tersebut dapat berdampak pada tubuh dan kinerja seseorang.

Melalui sebuah Diskusi Publik Pembukaan Photobook Showcase K3 Pekerja Perempuan Responsif Gender, yang telah digelar di Gedung Perpustakaan Nasional ini membahas hak-hak yang harus diterima oleh para pekerja perempuan.

Salah satunya hak cuti saat mereka menstruasi atau haid, melahirkan, hingga keguguran.

"Perusahaan harus bisa memberikan kepastian kepada pekerja perempuan, bahwa hak anak harus terpenuhi," tutur dr. Wendri Wildiartoni P. Pelupessy, Deputi Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan, Jumat (15/12).

Ilustrasi Menstruasi. Foto: Freepik
Ilustrasi Menstruasi. Foto: Freepik

Baca Juga: Catat, Ini Daftar Lengkap Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama 2024

Cuti haid atau menstruasi sendiri telah diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam beleid itu disebutkan bahwa pekerja perempuan dapat mengambil cuti hari pertama dan kedua menstruasi.

Sementara terkait cuti melahirkan, hal tersebut telah tertuang dalam Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

Beberapa ketentuan bagi perempuan hamil memperoleh istirahat selama 1,5 bulam sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, yang sebelumnya sudah melalui perhitungan dokter kandungan.

Baca Juga: Film Sehidup Semati, Horor Thriller tentang Kekerasan pada Perempuan

Tidak hanya cuti melahirkan, karyawan perempuan yang mengalami keguguran kandungan juga berhak memperoleh cuti keguguran sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.

"Kalau bicara secara teori, keguguran saat bekerja itu masuk dalam konteks kecelakaan kerja, artinya, perusahaan bertanggungjawab untuk melakukan damage control atau pengendalian kerusakan," ujar dr. Wendri.

Padahal, dalam pasal tersebut menerangkan bahwa, pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Ilustrasi Ibu Bekerja. Foto: Getty Images
Ilustrasi Ibu Bekerja. Foto: Getty Images

Lagi-lagi, peraturan hanyalah tulisan yang tertulis dalam sebuah kertas semata.

Meski dalam realitanya menyesakkan dada, masih banyak kaum perempuan yang sulit mendapatkan haknya.

"Dan itulah realita yang ada, di mana ibu-ibu masih banyak yang tidak mendapatkan hak cuti melahirkan atau kegugurannya," tuturnya.

Baca Juga: Perimenopause, Fase Perempuan Menjelang Menopause

Serikat pekerja, komunitas, dan beberapa buruh sering kali menggaungkan hak mereka, namun nyatanya hanyalah angin belaka.

Pemerintah masih dianggap lembek dan takut terhadap perusahaan besar yang memberikan kontribusi bagi keuangan negara, tanpa memperdulikan nasib para pekerja.

Ia juga mengungkapkan bahwa para karyawan dapat melaporan hal tersebut pada pihak yang berwenang. Bahwa cuti menstruasi, melahirkan dan keguguran adalah hak perempuan yang harus terpenuhi oleh perusahaan.

Editor


Komentar
Banner
Banner