Kalsel

Kebebasan Pers Kalsel Terancam Lagi, Polisi Buka Kasus Lama Jurnalis Diananta

apahabar.com, BANJARMASIN – Polda Kalsel diam-diam kembali mengusut kasus lama Diananta Putra Sumedi kontributor Tempo saat…

Featured-Image
Diananta saat menjadi tahanan titipan di Polda Kalsel. Foto: Dok

bakabar.com, BANJARMASIN – Polda Kalsel diam-diam kembali mengusut kasus lama Diananta Putra Sumedi kontributor Tempo saat bekerja untuk Banjarhits.id media partner Kumparan.

Desas-desus penyelidikan itu terungkap ketika penyidik Polda Kalsel melakukan serangkaian pemeriksaan Tenaga Ahli Dewan Pers, Herutjahjo.

“Iya betul,” ujar Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry CH Bangun membeberkan pemeriksaan Heru saat dihubungi media ini, Kamis (02/12).

Dari informasi yang dihimpun, polisi kembali mengusut kasus berita bermuatan SARA yang pernah dimuat di Banjarhits. Padahal perkara tersebut telah inkrah.

Diananta dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Kotabaru. Ia menjalani hukuman penjara berbulan-bulan lamanya di Polres setempat.

Kabid Humas Polda Kalsel Kombes Pol Moch Rifa’i saat dikonfirmasi membenarkan perkara Diananta telah inkrah.

“Iya betul sudah inkrah,” kata Rifa’i, Kamis.

Lantas bagaimana dengan pemeriksaan Tenaga Ahli Dewan Pers, Herutjahjo? Rifa’i masih belum berani berkomentar banyak.

“Bapak konfirmasi dulu. Mohon waktunya,” jawab Rifa’i singkat.

Langkah kepolisian membuka kembali kasus yang sudah memiliki kekuatan tetap cukup mengherankan Direktur Borneo Law Firm, Muhammad Pazri.

Advokat yang kerap menangani perkara probono ini meminta kepolisian patuh terhadap nota kesepahaman atau MoU antara kapolri dengan Dewan Pers. Termasuk surat edaran Mahkamah Agung.

“Sekali lagi, segala sengketa pemberitaan harusnya selesai di Dewan Pers,” ujar Pazri.

Polisi, kata Pazri, harus menghormati MOU tersebut demi menghindari kesan upaya kriminalisasi kedua terhadap Diananta.

Oleh karenanya, Pazri meminta polisi membedakan mana delik pers mana delik pidana.

“Bahwa kesalahan dalam produk jurnalistik harus dibedakan penanganannya antara detik pers dengan delik pidana,” ujar magister ilmu hukum Universitas Lambung Mangkurat ini.

Pasal 4 UU 40 tahun 1999 tentang Pers tegas menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Kesalahan dalam pemberitaan, sesuai Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008, mestinya cukup diselesaikan lewat hak jawab dan koreksi.

Jurnalis atau redaksi yang melakukan kesalahan dalam pemberitaan bisa mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada publik.

“Jika masih belum puas, langkah berikutnya silakan membuat aduan di Dewan Pers,” tuturnya.

Dewan Pers memiliki fungsi memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus pers.

Dalam kasus Diananta, Dewan Pers sejatinya sudah mengeluarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers (PPR) Nomor 4/PPRDP/II/2020 agar masalah ini selesai melalui hak jawab, koreksi, dan pencabutan berita.

Meski begitu, nyatanya hakim PN Kotabaru tetap saja menjatuhkan vonis penjara terhadap Diananta atas kekeliruan berita yang ditulisnya.

Jika mekanisme pers telah dijalankan tetapi masih saja ada proses delik pidana, Pazri melihat ada indikasi pelemahan terhadap UU Pers.

Karenanya, Pazri berharap Polda Kalsel segera menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Diananta.

“Masih adanya kasus pemberitaan yang dilaporkan ke polisi dan diproses adalah dugaan bentukancaman serius untuk kebebasan pers,” ujarnya.

Pengambilan keterangan saksi ahli Dewan Pers oleh Polda Kalsel juga mengindikasikan jika polisi sedang menunggu momen untuk memeriksa Diananta.

Diananta sendiri tak habis pikir masalah yang sudah tuntas di pengadilan dan Dewan Pers kini dibuka kembali oleh polisi.

“Bagaimana bisa orang mau dihukum dua kali dalam kasus yang sama,” ujarnya.

Selesai menjalani masa tahanan, Diananta menghirup udara bebas pada 18 Agustus 2020.

Wahyu Widiyaningsih, istri Diananta menceritakan keluh kesahnya selama suaminya itu dibui 3 bulan 15 hari.

“Anak saya yang selalu menanyakan bapaknya di mana, momen yang seharusnya lebaran bersama keluarga malah hancur,” ujarnya.

Selama Diananta dipenjara polisi, Wahyu kerap bolak-balik Banjarmasin-Banyuwangi dan menempuh perjalanan darat delapan jam lamanya menuju Kotabaru.

“Seminggu sekali bisa dua kali bolak-balik mendampingi suami sidang, memang semua pekerjaan itu ada risikonya, tapi kalau sampai kasus suami saya dibuka lagi bagaimana saya dan anak saya,” ujarnya.

Ambigu IKP Kalsel

Dalam lembar pernyataan sikapnya, Dewan Pers sempat kuatir pemenjaraan Diananta berimbas pada menurunnya indeks demokrasi dan kemerdekaan pers (IKP) Indonesia khususnya Kalsel.

“Pemerintah dan semua pihak yang peduli terhadap citra Indonesia di mata dunia internasional, semestinya memperhitungkan risiko ini,” ujar Ketua Dewan Pers, Mohammad Nuh dalam keterangannya, 15 Agustus 2020.

Namun kekuatiran Dewan Pers itu tidak terbukti. Nyatanya, Kalsel mendapat skor IKP 81,64 atau lebih tinggi dari IKP Nasional sebesar 76,02. Itu berdasar rilis hasil IKP Kalsel 2021 Dewan Pers bersama Sucofindo.

Sekalipun ada pemenjaraan jurnalis Diananta, Kalsel tetap saja masuk lima besar daerah dengan IKP tertinggi di Indonesia, di atas Kalimantan Tengah (81,53), dan dua tingkat di bawah Kaltim (82,27).

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tak heran jika hasil IKP Kalsel mengundang pertanyaan jika melihat komposisi informan ahli yang digunakan Dewan Pers lebih banyak mengakomodir pemerintah ketimbang unsur masyarakat.

“IKP Kalsel yang justru meningkat di tengah suburnya kasus kekerasan hingga kriminalisasi terhadap jurnalis, termasuk pemenjaraan Diananta, ini patut dipertanyakan,” ujar Ketua AJI Balikpapan, Teddy Rumengan.

Sejak 2019, AJI mencatat tren kasus kekerasan terhadap jurnalis di Kalimantan Selatan meningkat. Tak cuma Diananta, November 2020 seorang jurnalis lokal Kalsel dijemput oleh empat orang dari kediamannya lantaran merekam pernyataan salah seorang calon bupati. Meski tak berujung bui seperti Diananta, tetap saja intimidasi itu menimbulkan ketakutan terhadap korban.

Kembali ke kasus Diananta, AJI mendesak penyidik kepolisian di daerah patuh terhadap MoU antara Dewan Pers-dan Kapolri.

"Perlu dorongan kepada kapolri untuk membuat peraturan khusus agar penyidik di daerah menyelesaikan kasus pers lewat mekanisme pemberitaan," ujarnya. “Kasus Diananta yang sudah menjadi perhatian internasional semoga tidak terulang lagi,” pungkasnya.

Komentar
Banner
Banner