Nasional

Karhutla, AMAN dan Walhi Kecam Penangkapan Peladang Lokal di Kalimantan

apahabar.com, SAMARINDA – Memasuki musim kemarau, kian hari Kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla makin meluas….

Featured-Image
Proses pembakaran lahan berladang oleh masyarakat adat Muara Tae, Kaltim. Foto: AMAN for apahabar.com

bakabar.com, SAMARINDA – Memasuki musim kemarau, kian hari Kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla makin meluas.

Dipandang sebagai kejahatan luar biasa, dampak kepulan asap yang ditimbulkan menyisakan banyak persoalan.

Di Kalimantan, aktivitas penerbangan nyaris lumpuh akibat batasan jarak pandang.

Penderita ISPA meningkat, masyarakat mesti menggunakan masker dalam keseharian.

Persoalan ini makin runyam ketika makin banyak masyarakat yang ditangkap aparat atas dugaan pembakaran lahan.

AMAN menilai penangkapan masyarakat yang umumnya peladang lokal sebagai bentuk kesewenangan-wenangan aparat, dan bukan solusi untuk menghentikan laju Karhutla.

“Kami mengecam keras tindakan pemerintah mengambinghitamkan masyarakat adat dalam kasus pembakaran hutan dan lahan di Kalimantan,” jelas Ketua AMAN Kaltim Margareta Seting Beraan kepada bakabar.com, Minggu.

Aktivitas masyarakat yang berladang dituding jadi biang kerok kebakaran lahan. Secara eksplisit, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Panjaitan menyatakan hal itu. Salah satu penyebab karhutla, kata Luhut, adalah aktivitas masyarakat yang berladang dengan cara membakar.

AMAN memandang peladang lokal yang dimaksud tak lain adalah masyarakat adat dayak. Seting menjelaskan masyarakat adat punya cara tersendiri untuk membuka lahan.

“Secara adat istiadat, yang paling awal mereka lebih dulu melapor ke RT setempat,” jelas Seting.

Dari sana, mereka meminta bantuan komunitas adat lain bahwa akan melakukan pembakaran.

Bantuan tadi tak lepas dari musyawarah untuk mencegah kebakaran, dan menimbang pertanda alam.

“Makannya sebelum membakar ladang tersebut sudah membuat sekat agar tidak mejalar ke lokasi lainnya,” jelas Seting.

Pembakaran lahan untuk berladang, kata dia, sebenarnya sudah diatur sangat jelas dalam UU 32 Tahun 2009 Pasal 69.

Per-kepala keluarga diperbolehkan untuk melakukan pembakaran lahan namun dengan luas maksimal dua hektare.

Pembukaan lahan dimaksud untuk pertanian dengan tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.

Sekalipun demikian, Seting menilai implementasinya tak berjalan sesuai harapan terlebih memasuki musim kemarau ini.

AMAN pun menyayangkan tindakan aparat dengan sengaja melakukan penangkapan secara serentak terhadap masyarakat adat.

Yang terbaru, Jumat (20/09) kemarin, dua orang masyarakat adat Paser bernama Sadarani (41), dan Jumardi (51) ditangkap Polres Paser hanya karena membakar lahan untuk berladang.

Menurut Seting, kedua peladang lokal itu sudah melakukan pembukaan lahan sesuai mekanisme kearifan lokal.

“Proses pembakaran ladang sudah selesai dan berjalan lancar tidak ada sedikitpun menjalar ke wilayah lainnya namun dua orang itu ditangkap secara paksa dengan tuduhan melakukan tindak pidana pembakaran hutan,” kata Seting.

Saiduani Nyuk Biro Advokasi AMAN Kaltim menilai apa yang dilakukan kedua peladang lokal itu bukan kejahatan serius.

“Kasus yang ada di kabupaten Paser adalah tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat kesannya memaksakan penangkapan sehingga tidak menghormati tradisi masyarakat adat lokal bahkan tidak tunduk pada undang-undang,” jelas dia.

Imbas dari penangkapan serentak yang dilakukan aparat, AMAN kerap menerima laporan dari komunitas adat bahwa mereka kesulitan untuk berladang mendapatkan beras.

AMAN mendata ada 68 komunitas adat dayak yang tersebar di penjuru Kaltim. Dengan rata-rata satu komunitas memiliki 80 keluarga, ada 5.984 keluarga yang menggantungkan hidup dari bertani.

Memasuki bulan September-Oktober, kata dia, biasanya mereka sudah menentukan lokasi pembukaan lahan untuk bercocok tanam.

“Kalau di Kutai Barat dan Paser karena menunggu cuaca yang pas mereka menunda sampai September-Oktober ini. Tapi di sebagian daerah seperti Mahakam Ulu, dan Kapuas Hulu sekarang masa tanam sudah,” jelas dia.

Namun, di Kutai Barat, dan Wehea Kutim, AMAN menerima laporan bahwa komunitas ada setempat takut berladang karena ancaman penangkapan.

“Jika aparat melarang membakar ladang tentu masyarakat adat sangat dirugikan, harusnya kalau melarang ada jaminan hidup atau bantuan yang mereka terima,” jelas Saiduani Nyuk.

Seting sendiri mengatakan orang dayak tak menggunakan lahan resapan air atau gambut untuk bertani. Mereka lebih memilih menggunakan tanah kering sebagai area berladang.

Seting menilai tak etis jika orang dayak jadi kambing hitam bencana kabut asap pada kemarau ini.

“Padahal kabut asap berasal dari kebakaran hutan dan gambut yang dilakukan orang yang tidak bertanggungjawab,” jelas dia.

Dia mengatakan ada juga beberapa asap berasal dari lahan koorporasi atau perusahaan bukan berasal dari peladang tradisional.

“Selama turun temurun masyarakat adat tidak berladang di lahan gambut, justru sebaliknya HGU perusahaan sawit yang biasanya malah memanfaatkan gambut,” ujarnya.

Untuk itu, AMAN mengingatkan polisi untuk menghargai hak masyarakat adat untuk berladang, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi 35 tahun 2012.

“Masyarakat adat berhak berdaulat atas wilayah adat dan hak tradisionalnya. Kasus di Kabupaten Paser tersebut hanyalah salah satu kasus dari beberapa laporan,” jelas dia.

AMAN Kaltim sendiri mengaku akan melakukan tindakan hukum melawan tindakan sewenang-wenang terhadap peladang ini.

Dua Hari, Dua Warga Diamankan

Dari Kalsel, dalam dua hari belakangan sudah dua peladang lokal ditangkap karena membuka lahan dengan cara membakar.

Secara keseluruhan, Polda Kalsel dan jajaran sudah memproses 16 kasus karhutla, dengan jumlah lima orang tersangka. Kasus karhutla itu, kata polisi, umumnya berasal dari laporan masyarakat.

“Untuk penyelidikan ada 50 lebih, namun semuanya masih dilakukan pendalaman apakah bisa ditingkatkan ke penyidikan untuk penetapan tersangka,” beber Kabid Humas Polda Kalsel M Rifai dikutip dari Antara, Sabtu (22/09).

Terpisah, Direktur Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono mengatakan kebakaran hutan di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

“Namun perbedaan mencolok sekarang ada pihak yang meraih keuntungan finansial daripada kebakaran ini,” jelas dia kepada bakabar.com, Minggu.

Sejak Juli 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah menyegel 52 lokasi area konsesi perusahaan penyebab karhutla.

Puluhan perusahaan itu berada di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan.

Daripada mengejar petani, WALHI meminta polisi lebih memaksimalkan penyelidikan pada keterlibatan korporasi sesuai temuan awal KLHK tadi.

“Tak mungkin mereka melakukan pembakaran, sekarang ladang sudah musim panen,” jelas dia.

Semakin banyak petani yang ditangkap kian membuktikan pemerintah gagal dalam menanggulangi Karhutla.

“Kalau ditangkap terus [Petani] maka rawan pangan,” jelas Kis.

Baca Juga: KLHK: Karhutla Berkaitan dengan Buka Lahan Perkebunan

Baca Juga: Bagikan 3.000 Masker, KNPI Kalsel Desak Pemerintah Usut Pelaku Karhutla!

Editor: Fariz Fadhillah



Komentar
Banner
Banner