bakabar.com, JAKARTA - Sebuah ingatan yang luka terpacak dalam bait-bait puisi Kawarang-Bekasi karya Chairil Anwar. Menghadirkan kembali fragmen tragedi pembantaian ribuan nyawa tak bersalah. Pujangga berjuluk Si Binatang Jalang itu ada di sana, menyaksi-rasakan kekejian Belanda.
"Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi, tidak bisa teriak 'Merdeka' dan angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan mendegap hati?"
Demikian kiranya penggalan puisi sang pujangga kenamaan, yang terinspirasi dari peristiwa pembantaian Rawagede. Tragedi ini berlangsung tak lama usai proklamasi berkumandang, lebih tepatnya pada 9 Desember 1947.
Kendati negeri ini telah menyuarakan kemerdekaan, Belanda tak segan-segan berusaha membelenggu Indonesia lagi. Berganti rupa menjadi Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA), mereka kembali ke daerah bekas jajahannya dengan menunggangi tentara sekutu.
Dari sinilah, peristiwa berdarah yang disinyalir menewaskan 431 orang Indonesia itu bermula.
Terkecoh Janji Manis Belanda
Negeri Kincir Angin tak rela kehilangan wilayah jajahan yang dulu menghidupi mereka selama ratusan tahun. Guna mengembalikan Indonesia ke dalam cengkramannya, Belanda lantas menempuh jalur perundingan.
Pada 11 November 1946, Belanda dan Indonesia pertama kali menyepakati perjanjian resmi. Perundingan Linggarjati, begitu namanya, menghasilkan sejumlah kesepakatan yang dielu-elukan bakal menguntungkan Tanah Air.
Isi perjanjian tersebut, antara lain Belanda mengakui Jawa dan Madura sebagai wilayah Indonesia secara de facto, Belanda meninggalkan Indonesia paling lambat 1 Januari 1949, Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS), dan RIS menjadi negara persemakmuran di bawah naungan Belanda.
'Manis di mulut, lain di hati.' Begitulah perangai asli Belanda usai meneken Perundingan Linggarjati. Bukannya menepati janji, Belanda malah beralih dengan memantik sejumlah bentrokan di berbagai daerah.
Hingga akhirnya, pada 20 Juli 1947, Belanda menarik diri dari Perundingan Linggarjati. Sehari setelahnya, pasukan Negeri Kincir Angin itu melancarkan serangan Agresi Militer I.
Sejarawan Universitas Indonesia (UI), Ali Anwar, menyebut Agresi Militer itu sebagai upaya Belanda untuk merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya. Serta, daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak.
"Salah satu daerah sasaran dalam aksi itu ialah Bekasi-Karawang, sebab saat itu sepanjang Bekasi hingga Karawang merupakan jalur logistik perkeretaapian. Daerah itu pun merupakan wilayah subur pertanian sehingga untuk mengamankan pasokan bahan pokok tentara, Belanda ingin menguasai dua daerah tersebut," jelasnya, seperti dikutip dari Media Indonesia, Senin (16/8).
Namun, menguasai Bekasi dan Karawang nyatanya tak semudah ekspektasi Belanda, mengingat pertahanan tentara Indonesia di perbatasan Jakarta-Bekasi terkenal kuat.
Setelah membombardir berhari-hari, akhirnya Belanda berhasil memukul mundur tentara Indonesia. Saat itulah, cikal bakal tragedi Karawang-Bekasi dimulai.