News

Kabar dari MK: Gugatan Ambang Batas Capres 20 Persen Berguguran!

apahabar.com, JAKARTA – Gugatan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen di Mahkamah Konstitusi…

Featured-Image
Ilustrasi – Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta. Foto-Antara

bakabar.com, JAKARTA – Gugatan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen di Mahkamah Konstitusi (MK) berguguran.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak menerima enam gugatan pemohon yang meminta agar presidential threshold dihapuskan, salah satunya mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.

Mengutip detikcom, dalam perkara ini terdapat enam gugatan perkara presidential threshold 20 persen. Berikut ini daftar pemohon judicial review presidential threshold 20 persen yang diputus hari ini:

1. 5/PUU-XX/2022
Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pemohon: Lieus Sungkharisma
Putusan MK: Tidak dapat diterima

2. 6/PUU-XX/2022
Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pemohon: Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra, SH., MH, Fahira Idris, SE., MH
Putusan MK: Tidak dapat diterima

3. 7/PUU-XX/2022
Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pemohon: Ikhwan Mansyur Situmeang
Putusan MK: Tidak dapat diterima

4. 66/PUU-XIX/2021
Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pemohon: Ferry Joko Yuliantono SE AK
Putusan MK: Tidak dapat diterima

5. 68/PUU-XIX/2021
Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pemohon: H. Bustami Zainudin S.pd., M.H, H. Fachrul Razi, M.I.P
Putusan MK: Tidak dapat diterima

6. 70/PUU-XIX/2021
Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pemohon: Gatot Nurmantyo
Putusan MK: Tidak dapat diterima

Secara umum Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima gugatan para pemohon yang diajukan secara terpisah, seperti mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, Ferry Yuliantono, dan Fahira Idris dkk karena tidak mempunyai legal standing. Diketahui Fahira Idris menggugat bersama dua anggota DPD RI lainnya, Tamsil Linrung dan Edwin Pratama Putra.

“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam sidang terbuka yang disiarkan channel YouTube MK, Kamis (23/2/2022).

MK beralasan pemegang legal standing di pasal yang dimaksud adalah parpol. Pasal yang dimaksud adalah Pasal 222 UU Pemilu, yang berbunyi:

Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Putusan MK itu tidak bulat. Empat hakim MK menyatakan pemohon memiliki legal standing, yaitu Manahan Sitompul, Saldi Isra, Suhartoyo, dan Enny Nurbaningsih. Manahan Sitompul dan Enny Nurbaningsih berpendapat, meskipun pemohon perseorangan, memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, akan tetapi dalam pokok permohonan berpendapat tidak beralasan menurut hukum, sehingga permohonan Pemohon ditolak. Adapun Suhartoyo dan Saldi Isra berpendapat Pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum dan dalam pokok permohonan berpendapat beralasan menurut hukum sehingga mengabulkan permohonan Pemohon.

Namun empat hakim MK itu kalah suara dengan suara mayoritas hakim MK.

“Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian konstitusional para Pemohon dan tidak ada hubungan sebab-akibat dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan para Pemohon dalam menyerap aspirasi masyarakat daerah, karena pemberlakuan norma Pasal 222 UU 7/2017 tidak mengurangi kesempatan putra-putri terbaik daerah untuk menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden sepanjang memenuhi persyaratan dan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu,” kata Anwar Usman.

MK menyatakan Fahira Idris dkk tidak memenuhi kualifikasi perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih sehingga dapat dianggap memiliki kerugian hak konstitusional dengan berlakunya ketentuan norma Pasal 222 UU 7/2017.

“Karena tidak terdapat bukti adanya dukungan bagi para pemohon untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden dari partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu atau setidak-tidaknya menyertakan partai politik pendukung untuk mengajukan permohonan bersama dengan para pemohon,” beber Anwar Usman.

Sebelumnya, dua hakim konstitusi, Saldi Isra dan Suhartoyo, menilai sudah saatnya menghapus presidential threshold 20 persen. Namun suara keduanya kalah dengan suara mayoritas hakim konstitusi sehingga ambang batas 20 persen masih berlaku.

“Sulit diterima penalaran yang wajar apabila Mahkamah justru membiarkan adanya kebijakan pembelokan norma konstitusi dengan dalil open legal policy pembentuk undang-undang,” kata Suhartoyo dalam sidang terbuka yang disiarkan channel YouTube MK, Kamis (23/2/2022).

Menurut Saldi Isra dan Suhartoyo, dengan pemilu serentak, rezim ambang batas menggunakan hasil pemilu anggota DPR menjadi kehilangan relevansinya dan mempertahankannya berarti bertahan memelihara sesuatu yang inkonstitusional. Tambah lagi, apabila diletakkan dalam desain sistem pemerintahan, mempergunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai persyaratan dalam mengisi posisi eksekutif tertinggi (chief executive atau presiden) jelas merusak logika sistem pemerintahan presidensial.

“Dalam sistem presidensial, melalui pemilu langsung, mandat rakyat diberikan secara terpisah masing-masing kepada pemegang kekuasaan legislatif dan kepada pemegang kekuasaan eksekutif (presiden). Karena sama-sama berasal dari pemilihan langsung, mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan legislatif belum tentu sama, bahkan sejumlah fakta empirik membuktikan acap kali berbeda, dengan mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan eksekutif,” tutur Suhartoyo-Saldi Isra.

Menggunakan hasil pemilu legislatif guna mengisi posisi pemegang kekuasaan eksekutif merupakan logika dalam pengisian posisi pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dalam sistem parlementer. Artinya, dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan ambang batas (presidential threshold) dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial.

“Padahal salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem pemerintahan presidensial Indonesia,” ujar Suhartoyo-Saldi Isra.



Komentar
Banner
Banner