Hari Pers Nasional 2023

Jelang Hari Pers Nasional, Kisah Jatuh Bangun Kuasa Warta di Indonesia

Indonesia sendiri harus menempuh jalan panjang sebelum menjadikan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional

Featured-Image
Perjalanan Hari Pers Nasional. Foto: Net.

bakabar.com, JAKARTA - Melaporkan berita, mendidik anak bangsa, juga mengontrol kuasa. Demikian sedikitnya fungsi warta di Indonesia, yang setiap 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional.

Indonesia sendiri harus menempuh jalan panjang sebelum menjadikan tanggal tersebut momen istimewa. Pers di negeri ini sudah malang melintang, bahkan sebelum negara ini merdeka, atau pertama kali dibawa oleh orang-orang Belanda.

Lebih tepatnya, ketika Gustaaf Willem Baron van Imhoff diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1743. Setahun setelah pelantikannya, Gustaaf mengizinkan penerbitan surat kabar perdana di Jakarta, Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen.

Mulanya, Pemerintah Belanda menganggap pers hanya sekadar ladang uang. Lambat laun, mereka merasa masyarakat semakin membutuhkan informasi. Hal ini lantas dimanfaatkan untuk menyuarakan kabar pemerintah atau kelompok tertentu. 

Hingga akhirnya, surat kabar dan majalah kian menjamur di era 1900-an. Tak hanya milik Belanda, orang Indonesia pun mulai menerbitkan surat kabarnya.

Tirto Adhi Soerjo, misalnya, menjadi orang Indonesia pertama yang mencetuskan surat kabar Medan Prijaji pada 1910. Eksistensi koran ini menjadi ujung tombak pers untuk menyuarakan kebebasan berpendapat.

Sederet tokoh nasional pun turut menerbitkan surat kabar. Mereka adalah Tjokroaminoto, Ki Hadjar Dewantara, dan Soekarno. 

Tak hanya mencetuskan surat kabar, Ki Hadjar Dewantara bersama Tjipto Mangunkusumo juga mendirikan wadah persatuan pers nasional pada 1924. Asosiasi bernama Indische Journalisten Bond ini menjadi perkumpulan wartawan pertama di Indonesia. 

Sembilan tahun kemudian, atau lebih tepatnya pada 1933, Mohammad Yamin dan W.R. Supratman mendirikan Persatoean Djoernalis Indonesia (PERDI) di Solo. Organisasi ini didedikasikan sebagai wadah pikiran masyarakat untuk mendorong perjuangan dan persatuan bangsa, tanpa takut dikekang penjajah.

Lahirnya Hari Pers Nasional

Kondisi pers di Indonesia kian melesat usai negeri ini merdeka pada 17 Agustus 1945. Pulau-pulau besar di Tanah Air mulai memiliki surat kabar sendiri, di antaranya Jawa Shinbun, Borneo Shinbun, Sumatra Shinbun, dan Sulawesi Shinbun.

Maraknya penerbitan media massa membuat pencari berita kian menjamur di lapangan. Alhasil, tercetuslah inisiatif untuk menyatukan para wartawan.

Para pimpinan surat kabar dan wartawan sepakat mengadakan pertemuan di Sono Suko – sekarang menjadi Gedung Monumen Pers – pada 9-10 Februari 1946. Mereka membahas solusi atas kendala yang dihadapi dunia pers sekaligus bertekad menyatukan kekuatan sebagai penyedia informasi.

Mereka juga menginginkan suatu wadah yang bertujuan menghilangkan sisa-sisa penjajah dan menegaskan kedaulatan rakyat. Alhasil, terbentuklah organisasi wartawan Indonesia bernama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Menyadari pentingnya peran pers, pemerintahan Soeharto akhirnya menetapkan hari jadi PWI sebagai Hari Pers Nasional. Penetapan yang dilakukan pada 23 Januari 1985 ini termaktub dalam Keputusan Presiden RI No. 5 Tahun 1985.

Dibredel hingga Dijamin Negara

Kesadaran pemerintah akan pentingnya peran pers di Indonesia bak menjadi pedang bermata dua. Mereka memang mengapresiasi, namun sekaligus juga merampas kebebasan pers.

Awalnya, pers diberi hak untuk berbicara, menyiarkan, atau menerbitkan sebuah informasi tanpa pengekangan dan penyalahgunaan tanggung jawab yang dimiliki. Kebebasan ini juga dijamin oleh Presiden Soekarno dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28F. 

Menteri Penerangan kala itu, Amin Sjarifuddin, malah semakin menegaskan bahwa pers harus merdeka. Tak cuma menyampaikan pikiran penguasa, melainkan juga menjadi corong aspirasi masyarakat yang dianggap bak ‘nyawa’ pemerintah.

Sayang, kebebasan pers yang demikian tak bertahan lama. Semua mulai sirna ketika Presiden Soekarno mengubah sistem pemerintahan demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin pada 28 Oktober 1956. 

Imbas dari transisi itu, pers diminta mengikuti aturan sesuai prinsip Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Bung Karno bahkan tak segan-segan mengancam bakal membredel media yang berani melanggar prinsip tersebut.

Masa kelam pers Indonesia terus berlanjut hingga era Orde Baru. Rezim Soeharto membredel 12 media cetak lantaran mereka mengkritisi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di pemerintahannya.

Tak cuma itu, rezim Soeharto juga mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) beberapa media massa di tahun 1990-an. Izin penerbitan informasi pun semakin diperketat.

Pemerintah kala itu mendikte media cetak terkait hal yang boleh dan tak boleh dipublikasikan. Penerbitan surat kabar harus memiliki SIUPP.

Setelah Orde Baru berakhir, pers mulai bangkit dan kembali bersikap kritis dalam masa Reformasi. Era ini membuat pers menjadi lebih leluasa untuk memfasilitasi opini publik dan menyebarkan informasi.

Hingga akhirnya, muncullah berbagai media cetak dan elektronik baru, mulai dari koran, majalah, sampai televisi swasta. Reformasi juga melahirkan Undang-Undang (UU) No. 40 Tahun 1999 yang mengatur tentang pers.

Beleid tersebut menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara. Sensor, pembredelan, atau larangan siaran juga dijamin tak akan ‘menghantui’ pers lagi.

Editor


Komentar
Banner
Banner