bakabar.com, JAKARTA – "Di sini, semua orang dilahirkan, hidup, dan mati bebas, merdeka dari Prancis (atau kekuatan kolonial manapun)." Demikianlah pemikiran Toussaint Louverte, pahlawan super berkulit hitam yang memimpin pemberontakan di Saint Dominingueâkini menjadi Haiti dan Republik Dominikaâpada malam 22 sampai 23 Agustus 1791.
Dalam pemberontakan itu, orang kulit hitam menggempur orang kulit putih atas langgengnya perdagangan budak dan kerja paksa yang berlangsung selama hampir 400 tahun. Sekitar 12 juta penduduk Afrika telah diperdagangkan ke pelbagai pihak di Eropa dan Amerika.
Perdagangan budak ini tak pandang bulu: pria, wanita, sampai anak-anak diperjualbelikan bak komoditas. Mayoritas dari mereka lantas dipekerjakan di perkebunan, salah satunya di ladang tebu.
Kisah Pilu Perbudakan di Ladang Tebu
Kisah pilu di ladang tebu bermula ketika Prancis menjajah Haiti pada tahun 1450-an. Kala itu, Prancis berhasil menjadikan tanah jajahannya sebagai produsen dan eksportir gula terbesar di dunia. Untuk sampai pada titik itu, Prancis mendatangkan budak kulit hitam dari berbagai penjuru Afrika.
Menurut David Richard dalam Shipboard Revolts, African Authority, and the Atlantic Slave Trade, budak-budak itu dibawa ke 'tempat menyedihkan di seberang Atlantik.' Mereka tak pasrah begitu saja, melainkan juga sempat melakukan pemberontakan.
Bahkan, setidaknya terjadi 485 pemberontakan kecil di atas kapal yang tengah melitasi samudra menuju ladang tebu. Namun, apa boleh dikata, para budak itu tak berdaya. Memberontak, pada akhirnya, hanya berujung meregang nyawa.
Ekspor Manusia melalui "Jalur Budak"
Budak kulit hitam, pada masa itu, tak cuma dipekerjakan di Benua Afrika. Penanam modal asal Eropa dan Amerika tak segan-segan 'mengeskpor' orang kulit hitam ke luar negeri melalui The Slave Route atau Jalur Budak.
Miris, sistem tersebut rupanya tak terlepas dari campur tangan pedagang dan pemimpin Afrika. Ya, Jalur Budak ini mengawinkan kepentingan investor, pedagang, serta penanam modal kulit putih dengan kepentingan pedagang dan pemimpin kulit hitam.
Cara kerja sistem ini bermula dari para investor yang membangun sirkuit Atlantik di kota-kota pelabuhan, seperti Bristol, Nantes, serta Salvador da Bahia. Kapal mereka dapat memperoleh tawanan untuk memasok budak bagi perkebunan komersial, tambang, maupun pabrik di Amerika.
Di sisi lain, para pedagang dan pemimpin Afrika bertugas memindahkan tawanan dari hampir semua wilayah pedalaman Afrika ke pasar pesisir. Tawanan inilah yang nantinya bakal ditawarkan atau diperjualbelikan sebagai budak belian.
Setelah terjadi kesepakatan antara investor kulit putih dan pemimpin kulit hitam, para tawanan ini lantas diangkut dan bergabung dengan budak lainnya di Amerika. Sesampainya di Negeri Paman Sam, rombongan ini akan diperjualbelikan ke pasar-pasar sekunder.
Secercah Harapan Terangi Praktik Perbudakan
Perbudakan dan perdagangan orang kulit hitam tumbuh subur selama berabad-abad. Sampai akhirnya, pada abad ke-18, tepatnya tahun 1791, Toussaint Louverte datang membawa secercah harapan yang menjadi titik terang dari praktik perbudakan.
Bersama kompatriotnya, Jenderal Jean-Jacques Dessalines, Louverte memimpin budak kulit hitam yang bekerja di perkebunan tebu di Haiti untuk memberontak. Tekad untuk mengakhiri penderitaan ini sebelumnya sudah disepakati bersama usai pertemuan besar di Bois Caiman.
Alhasil, pada 22 hingga 23 Agustus 1791, sekitar setengah juta budak kulit hitam membakar perkebunan tebu tempatnya bekerja, dan menghajar tuan-tuan kolonial. Perlawanan yang disebut Revolusi Haiti itu menyulut revolusi, kemerdekaan, dan penghapusan perbudakan.
Dikenang oleh Dunia Setiap 23 Agustus
Perlawanan budak kulit hitam ini lantas membuat UNESCO menetapkan tanggal 23 Agustus sebagai Hari Internasional Mengenang Perdagangan Budak dan Penghapusannya. Peringatan ini pertama kali ditetapkan pada 1998 melalui Surat Edaran CL/3494.
Peringatan ini ditujukan guna mengenang orang-orang yang menjadi korban perdagangan budak. Sekaligus, memberi penghormatan kepada mereka yang telah bekerja keras untuk menghapus perdagangan budak dan perbudakan di seluruh dunia.
Hingga saat ini, setiap tahunnya, UNESCO mengajak menteri kebudayaan dari semua negara anggota untuk memperingati momentum ini dengan melibatkan seluruh penduduk, khususnya kaum muda, pendidik, seniman, dan para intelektual. (Nurisma)