bakabar.com, JAKARTA - Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, mencatatkan sederet nama dan peran penting. Termasuk ia yang bertugas bertugas sebagai juru ketik naskah proklamasi. Dari tangannya sebuah teks lahir dan jadi penanda bahwa Indonesia telah terbebas dari belenggu penjajah.
Sayup suara memecah keheningan di pagi buta. Kala itu, tepatnya 16 Agustus 1945 pukul 04.30, sekelompok golongan muda 'menculik' Soekarno-Hatta. Sehari sebelum proklamasi.
"Bergegaslah Bung, sudah tiba waktunya," seru salah seorang pemuda dengan sorot tegas, sebagaimana dikutip dari buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.
Dalam buku tersebut, mengisahkan bahwa gejolak silang pendapat mengiringi proses proklamasi. "Kami akan melarikan Bung Soekarno di pagi buta ini. Sudah kami putuskan untuk membawa Bung ke tempat yang aman." Ucapan salah seorang pemuda itu menjadi penanda gerakan yang sudah terencana matang.
Perdebatan sempat menyelimuti Soekarno dengan kelompok pemuda. Namun, pada akhirnya, golongan mudalah yang memenangkan 'tawar menawar' tersebut. Tak lain dan tak bukan, golongan muda itu adalah mereka yang sempat berdebat dengan dwitunggal bangsa soal kemerdekaan.
Dan di antara barisan muda yang menjemput paksa Soekarno-Hatta tersebut adalah Sayuti Melik. Dia merupakan seorang anak pejabat desa yang terkenal menentang keras Pemerintah Belanda.
Semangat Patriotik dari Sang Ayah
Semangat perjuangan melawan penjajah yang dimiliki sang ayah, agaknya mendarah daging dalam jiwa pria kelahiran 22 November 1922 itu. Jiwa patriotik tersebut kian membara ketika dirinya berguru dengan seorang cendikiawan, yaitu Haji Misbach.
Sayuti dengan lantang menyerukan perlawanan terhadap praktik kolonialisme, kapitalisme, dan bentuk penindasan lain yang dilanggengkan Pemerintah Belanda. Hal ini membuatnya dicurigai berafiliasi dengan kelompok sosialis, sehingga dirinya pun diasingkan sebagai tahanan politik pada 1926.
Tujuh tahun setelahnya, Sayuti akhirnya bebas dari pengasingan. Namun, dirinya berulang kali dijerat penjara dengan alasan serupa: diduga terlibat gerakan tertentu yang merugikan penjajah, entah itu Pemerintah Belanda maupun Jepang.
Hingga akhirnya, pada 1945, Sayuti tergabung dalam gerakan Menteng 31 yang beranggotakan para pemuda revolusioner Indonesia. Mereka mendesak golongan tua agar melepaskan negeri ini dari belenggu penjajah secepat mungkin, tanpa perlu menunggu janji-janji Jepang.
Sebuah Teks Penanda Indonesia Merdeka
Usai terlibat dalam Peristiwa Rengasdengklok yang terjadi pada 16 Agustus 1945, Sayuti dan sejumlah pemuda turut serta merumuskan konsep naskah proklamasi bersama Soekarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo di kediaman Laksamana Muda Maeda di Jakarta.
Pemilik nama asli Mohamad Ibnu Sayuti itu bukan hanya bertugas mengetik naskah proklamasi, melainkan juga menjadi sosok yang menyarankan agar teks tersebut dibacakan Soekarno dan Hatta dengan mengatasnamakan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Meski memegang peranan cukup penting selama masa persiapan kemerdekaan, Sayuti malah sempat dituduh terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946, yang disinyalir sebagai upaya makar pertama usai kemerdekaan.
Cinta Tanah Air hingga Akhir Hayat
Silang pendapat antara Soekarno dengan Sayuti tak berhenti sampai di situ. Sayuti sangat menentang konsep nasionalisme, agama, dan komunisme (Nasakom) yang kerap digaungkan Bung Karno sejak 1956. Dia sangat tidak setuju jika Bung Karno menjadi presiden seumur hidup, bahkan berbalik mengkritik PKI lewat tulisan-tulisannya.
Tahun demi tahun berlalu, perjuangan Sayuti Melik melawan segala hal yang menurutnya tidak benar juga terus berlanjut. Namun, perjuangan sang juru ketik ini harus terhenti di usia 80 tahun, ketika dirinya berpulang ke pangkuan Tuhan pada 27 Februari 1989 di Jakarta.
Berkat jasa-jasanya, Sayuti Melik menerima sejumlah penghargaan, yakni Bintang Mahaputra Tingkat V dan Bintang Mahaputra Adipradana Tingkat II. Sampai akhir hayatnya, dia tetap diberikan penghargaan dengan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. (Nurisma)