bakabar.com, MARABAHAN – Tak semua perkara pidana di wilayah hukum Barito Kuala, diselesaikan di pengadilan. Terlebih sekarang Bumi Selidah memiliki sebuah rumah restorative justice.
Berlokasi di Desa Sungai Gampa, Kecamatan Rantau Badauh, rumah restorative justice tersebut dinamai Wadah Babaikan.
Kegiatan di Wadah Babaikan ini dimulai sejak diresmikan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan, Mukri, Rabu (8/6).
Peresmian juga dihadiri Bupati Hj Noormiliyani AS, Wakil Bupati H Rahmadian Noor, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Eben Neser Silalahi dan unsur Forkopimda lain.
“Kami berterima kasih atas kerjasama Pemkab Barito Kuala dan pihak terkait yang bekerja keras mewujudkan rumah restoratice justice ini. Semoga dapat dikembangkan hinggga kecamatan lain,” paapar Mukri.
“Tentu kami berharap keberadaan rumah restorative justice bukan seremonial saja, tapi dapat dioptimalkan dan membawa manfaat untuk masyarakat yang berusaha mengembalikan kedamaian,” imbuhnya.
Diketahui Rumah Babaikan bukan tempat restorative justice pertama di Kalsel. Sebelumnya sudah didirikan di Hulu Sungai Tengah dan Selatan, serta Banjarmasin.
Sementara sebelum didirikan di kabupaten/kota, Kejati Kalsel telah menyelesaikan 29 perkara menggunakan restorative justice sejak 2020.
“Input yang diproleh positif dan diapresiasi berbagai kalangan. Terlebih secara konsep, restorative justice adalah langkah mengembalikan kepada keadaan semula,” papar Mukri.
“Peristiwa yang diselesaikan dengan restorative justice, Insyaallah menghasilkan keadilan yang bisa diterima kedua belah pihak secara ikhlas dan sadar, bukan keadilan yang dipaksakan melalui hukuman normatif,” imbuhnya.
Mediasi
Pendirian rumah restorative justice mengacu Peraturan Kejaksaan Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Adapun kriteria kasus pidana dapat diselesaikan melalui restorative justice juga berpedoman dengan peraturan yang sama.
Di antaranya tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, atau ancaman hukuman pidana tidak mencapai 5 tahun, atau kerugian yang timbul tidak lebih dari Rp2,5 juta.
Ppenghentian penuntutan berdasarkan restorative justice dilakukan dengan memenuhi syarat antara lain mengembalikan barang dari tersangka kepada korban, mengganti kerugian korbam dan respons positif masyarakat.
“Proses restorative justice merupakan alternatif penyelesaian proses pidana di luar persidangan dengan menekankan proses dialog dan mediasi,” jelas Mukri.
“Intinya restorative justice menitikberatkan partisipasi langsung pelaku, korban, dan masyarakat atau pemangku kepentingan lain dalam musyawarah guna mencapai mufakat atas persoalan atau peristiwa pidana,” imbuhnya.
Apabila dilakukan dengan benar, restorative justice juga dipercaya dapat merehabilitasi perilaku pelaku dan meningkatkan pencegahan.
“Ini juga menjadi trigger untuk menghidupkan kembali peran tokoh masyarakat, tokoh agama ataupun tokoh adat untuk bersama-sama menjaga kedamaian,” tandas Mukri.