Oleh: Rahimullah
RAKYAT yang sedang dirundung masalah akibat wabah virus corona ini kembali dibuat tercengang oleh tindakan pemerintah. Pemerintah dengan kewenangannya membuat sebuah keputusan tentang jaminan kesehatan.
Presiden Joko Widodo selaku kepala pemerintahan secara "diam-diam" memutuskan untuk memberlakukan kebijakan kenaikan tarif BPJS Kesehatan yang ditujukan kepada rakyatnya.
Kebijakan tersebut dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang akan diberlakukan pada tanggal 1 Juni 2020.
Kenaikan tarif BPJS Kesehatan ini seolah-olah menjadi kado "terindah" dan menjadi kebijakan strategis yang ditetapkan di tengah wabah virus corona bagi pemerintah di akhir moment ramadan ini. Namun tidak demikian dengan rakyatnya.
Keputusan pemerintah menaikkan tarif BPJS Kesehatan ini bukan berarti berjalan mulus tanpa kendala, melainkan juga mendapatkan pertentangan dari berbagai kalangan yang dianggap memberatkan dan menyusahkan kondisi kehidupan rakyat. Apalagi di tengah situasi wabah virus corona yang masih berlangsung.
Kebijakan pemerintah memutuskan penetapan kenaikan tarif BPJS Kesehatan ini bukan pertama kalinya dilakukan. Mengingat sebelumnya pemerintah pernah menetapkan kenaikan tarif BPJS Kesehatan pada tahun 2019 yang lalu. Namun, akhirnya kenaikan tersebut dibatalkan oleh Keputusan Mahkamah Agung.
Pembatalan kenaikan tarif BPJS Kesehatan yang dilakukan Mahkamah Agung bermula dari adanya pengajuan judicial review yang dilakukan oleh kelompok masyarakat. Alasan Mahkamah Agung membatalkan kenaikan tarif BPJS Kesehatan dikarenakan pelayanan BPJS Kesehatan yang belum optimal, menganggap tidak tepat terjadi kenaikan iuran di tengah kondisi melemahnya ekonomi masyarakat, serta meminta BPJS Kesehatan menyelesaikan persoalan ego sektoral dengan instansi pemerintah lainnya.
Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang waktu itu sebagai penggugat Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan ini mengatakan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan merupakan kebijakan yang tidak mengacu kepada kepentingan rakyat.
Presiden Joko Widodo yang sekarang ini tetap bersikeras menaikkaan tarif BPJS Kesehatan yang tarif kenaikannya hampir dua kali lipat dibandingkan tarif semula ini seakan-akan tidak mempunyai rasa simpati sekaligus empati terhadap keadaan rakyatnya.
Rakyat seharusnya jangan dibuat sedih oleh kebijakan pemerintah yang membuat mereka hidup susah, dan hidupnya yang sudah susah menjadi semakin susah kehidupannya.
Rakyat sebenarnya sudah dilema keadaannya dengan beratnya beban kehidupan yang harus dipukul berupa kenaikan tarif dasar listrik, tarif BBM yang tidak serta merta mengalami penurunan harganya, daya beli masyarakat yang semakin menurun, serta pendapatan ekonomi rakyat juga mengalami penurunan yang signifikan.
Sikap Presiden Joko Widodo yang tidak mau lagi kompromi dengan keadaan rakyatnya ini bertolak belakang dengan kebiasaannya yang menyukai blusukan ke tengah masyarakat. Kebijakan yang dibuat tidak lagi berpatokan pada kehendak rakyatnya. Sehingga ini juga menjadi pembelajaran bersama bahwa pemimpin atau calon pemimpin yang suka melakukan blusukan ke tengah masyarakat tidak bisa menjadi jaminan kebijakan yang ditetapkan akan berpihak kepada rakyatnya.
Pada akhirnya kebijakan menjadi negatif maknanya yang kesannya menandakan adanya hasrat kekuasan yang rakus dan tamak belaka, dari pada untuk kebaikan bersama yang diinginkan.
Sejatinya kebijakan yang ditetapkan harus didasarkan dengan pikiran positif atau pikiran yang membaikkan, pikiran yang memenangkan kepentingan dan kebaikan masyarakat, sehingga kebijakan pemerintah ditujukan untuk mencapai sosial beliefs about goodnesss'nya yang berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Penulis adalah Alumni FISIP Universitas Lambung Mangkurat dan Mahasiswa Pascasarjana FISIP Universitas Airlangga
===================================================================================
Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab pengirim.