News

Irma Hutabarat Sebut Sambo Sudah Jadi Sistem Tak Cuma Oknum

apahabar.com, JAKARTA – Aktivis perempuan Irma Hutabarat meyakini bahwa Ferdy Sambo bukan hanya sekedar oknum di…

Featured-Image
Ferdy Sambo Sistem (apahabar.com/regentino)

bakabar.com, JAKARTA - Aktivis perempuan Irma Hutabarat meyakini bahwa Ferdy Sambo bukan hanya sekedar oknum di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Ia menyoroti banyaknya personel Polri yang terseret dalam pusaran kasus Ferdy Sambo, khususnya menghalang-halangi penyidikan atau obstruction of justice.

"Sambo itu bukan oknum, melainkan sistem. Karena kalau oknum itu umumnya 1-2 orang, tapi ini kan 97 orang. Apa iya dari 97 orang polisi yang ada, tidak ada satuppun yang melaporkan kalau ketemu mayat (Brigadir J)," ujarnya dalam acara diskusi publik di Hotel Gran Mahakam, Jakarta, Selasa (27/9).

Diketahui, data sebanyak 97 orang polisi itu didapatnya dari pernyataan Kapolri pada saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama dengan Komisi III DPR RI. Saat itu Kapolri Jenderal Listyo Sigit menyebut dalam perkembangan kasus ini, sudah ada sekitar 97 orang yang ikut terseret dalam kasus Sambo.

Lebih lanjut, Irma juga mengungkapkan kekesalannya kepada Brigjen Hendra Kurniawan. Ia menyebut bahwa Brigjen Hendra yang melarang untuk membuka peti mati Brigadir J, maka dianggap tidak mengerti atau menghormati adat setempat.

"Brigjen Hendra itu tidak memperbolehkan untuk membuka peti. Sedangkan berdasarkan adat ibu Brigadir J harus melakukan mengalungkan ulos pada mayat Brigadir J," ungkapnya.

Selain itu, Irman menyayangkan dua komisi yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang kembali memunculkan isu pelecehan seksual yang dilakukan oleh Brigadir J, sekalipun kasus dugaan pelecehan seksual tersebut telah dihentikan oleh tim khusus (Timsus) bentukan Kapolri.

"Saya menyayangkan pernyataan Komnas HAM & Komnas Perempuan yang terkesan mendukung 'obstruction of justice' karena memunculkan kembali isu pelecehan seksual," pungkasnya.

Pada kesempatan sama, Dewan Pakar Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Soleman B. Ponto mengusulkan agar ke depannya penanganan kasus pembunuhan yang berbelit-belit seperti ini tidak terulang. Ia menyarankan adanya reformasi berupa pemisahan wewenang dalam tubuh Polri.

"Bagaimana bisa fokus, jika pemeriksanya dari kalangan (Polri) itu sendiri? Maka dari itu antara pelaku dan pemeriksa harus dipisah. Jangan sampai terulang kejadian / kasus yang sama," ujar purnawirawan TNI tersebut.

Sebelumnya, kasus obstruction of justice ini baru selesai menyidangkan kode etik empat dari tujuh orang tersangka. Empat orang yang telah disidang kode etik itu diputuskan dengan sanksi berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).

Masih ada tiga personel Polri lagi yang dijadwalkan akan segera menjalani sidang etik pada pekan ini. Ketiga orang tersebut ialah Brigjen Hendra Kurniawan, AKBP Arif Rahman, dan AKP Irfan Widyanto.



Komentar
Banner
Banner