Tak Berkategori

Irama Lenso dan Upaya Soekarno ‘Menyingkirkan’ Rock N Roll dari Indonesia

apahabar.com, BANJARMASIN – Saat budaya pop Amerika mulai menginvasi Indonesia pada akhir 1950-an, Presiden Soekarno langsung…

Featured-Image
Bung Karno. Foto-Vantage Indonesia

bakabar.com, BANJARMASIN – Saat budaya pop Amerika mulai menginvasi Indonesia pada akhir 1950-an, Presiden Soekarno langsung mengambil respons cepat.

Soekarno khawatir masuknya budaya barat dengan masif membuat rakyatnya meninggalkan dan lupa dengan budayanya sendiri. Saat itu, budaya populer Amerika dengan musik rock n roll-nya memang sedang mewabah di seluruh dunia.

Berdasarkan catatan Denny Sakrie di buku “100 Tahun Musik Indonesia”, pada Agustus 1959, Soekarno mengeluarkan manifesto yang diberi nama Manipol USDEK/UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia.

Dalam manifesto tersebut, Pemerintah RI mengeluarkan keputusan untuk melindungi kebudayaan bangsa dari pengaruh asing, terutama budaya populer dari Barat.

Sejak 1959, siaran Radio Republik Indonesia (RRI) diminta untuk tidak lagi memutar lagu-lagu rock n roll, cha cha, hingga mambo. Soekarno menyebut genre itu sebagai musik “ngak ngik ngok”.

Sang Proklamator sejatinya tidak anti musik. Dia justru ingin membangun kebudayaannya sendiri dengan menggali musik-musik tradisional Indonesia. Untuk mengganti budaya Barat itu, Bung Karno pun menggagas irama lenso.

Apa itu irama lenso?

Irama Lenso adalah semacam iringan untuk tarian pergaulan yang berasal dari Ambon, Maluku. Dalam bahasa Indonesia, Lenso berarti sapu tangan.
Dalam tradisi rakyat Maluku, sapu tangan itu digunakan ketika masyarakat menari dalam iringan musik bertempo medium.

Untuk menggali irama lenso lebih dalam, Soekarno menggaet tiga seniman besar; Jack Lemmers (Jack Lesmana), Idris Sardi, dan Bing Slamet. Bahkan, Bung Karno terlibat langsung dalam penggarapannya.

Lagu “Bersuka Ria” merupakan hasil usaha Bung Karno menggali irama lenso. Lagu tersebut kemudian dinyanyikan oleh Rita Zaharah, Nien Lesmana, Bing Slamet, dan Titiek Puspa. Lagu itu kemudian masuk ke dalam album kompilasi bertajuk “Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso” pada label Irama yang dirilis pada 14 April 1965.

Selain Bersuka Ria, lagu lainnya yang ada di album tersebut yaitu “Soleram”, “Burung Kakatua”, dan “Gelang Sipaku Gelang”. Juga ada “Bengawan Solo” karya Gesang dan “Gendjer Gendjer” yang belakangan menjadi kontroversi saat meletusnya peristiwa 30 September 1965.

Pada 2009, Majalah Rolling Stone Indonesia menempatkan Genjer-Genjer di peringkat 105 dari 150 lagu terbaik sepanjang masa.

Pemusik Sjaiful Nawas mengatakan irama lenso adalah upaya Bung Karno untuk membuat masyarakat Indonesia bisa mandiri dalam urusan seni, budaya, dan hal lain yang lebih luas.

Dalam linier notes album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso, Sjaiful menulis:

“Pemimpin besar revolusi kita selalu mengandjurkan agar kita berani berdiri di atas kaki sendiri. Tentu andjuran beliau mentjakup bidang musik kita pula.”

Upaya Bung Karno tak berhenti sampai di situ. Dia kemudian mengajak sejumlah musisi berkunjung ke Eropa dan Amerika pada 1964-1965 dengan proyek musik bernama The Lensoists. Sejumlah nama tenar ikut bergabung. Beberapa di antaranya adalah Titiek Puspa, Idris Sardi, dan Jack Lesmana.

Apa yang telah dilakukan Bung Karno memang tak sepenuhnya berhasil. Karena pada 1964-1965, dunia sedang dilanda virus Beatlemania. Kesuksesan The Beatles dengan “I Wanna Hold Hour Hand” bersama sejumlah lagu-lagu karangan Lennon-McCartney menjadi raja di tangga lagu Amerika Serikat dan banyak negara lainnya.

Saat itu, The Beatles memang tak sekadar mengubah dunia musik populer saja, tetapi mereka juga berhasil memengaruhi kebudayaan, ekonomi, bahkan politik.

Setelah The Beatles merajai Amerika Serikat, sedikitnya ada 100 band Inggris yang kemudian mengikuti langkah The Fab Four. Rock n roll makin tak terbendung.

Melihat fenomena itu wajar Bung Karno khawatir dan sampai mengeluarkan larangan melalui manifesto yang dia keluarkan. Usaha Bung Karno untuk mempertahankan kebudayaan rakyat Indonesia tentu bisa menjadi pelajaran berharga untuk rakyatnya.

Rakyat Indonesia mesti bangga dan lebih menghargai budayanya sendiri. Hari ini, lagu-lagu yang diambil dari irama lenso menjadi lagu rakyat yang abadi. Itu semua berkat jasa besar, Bung Karno.

Selamat Hari Musik Nasional!

Baca Juga:Jokowi Sambangi Rumah Pahlawan Nasional Fatmawati Soekarno

Baca Juga:Jembatan Jalan Soekarno Angker Bagi Pengendara

Editor: Puja Mandela



Komentar
Banner
Banner