Relax

Invasi Punk Banjar di Tengah Ramainya Industri Musik Indonesia

apahabar.com, BANJARMASIN – Industri musik Indonesia hari ini begitu ramai. Tak seperti dulu yang hanya didominasi…

Featured-Image
Primitive Monkey Noose. Foto-Istimewa

bakabar.com, BANJARMASIN – Industri musik Indonesia hari ini begitu ramai. Tak seperti dulu yang hanya didominasi musisi-musisi dari mayor label, kini semua orang punya kesempatan yang sama untuk sukses dan menjadi terkenal.

Itu bisa dilihat dari warna musik yang diproduksi hari ini. Ibarat warung makan, musik Indonesia menyajikan beragam menu, dari rendang, bakso, opor ayam, sate, hingga soto banjar. Industri musik Indonesia juga begitu. Musisi Indonesia bisa berkarya dengan lebih merdeka. Jarak antara musisi mayor label dan musisi independen pun makin sulit dibedakan.

Genre musiknya juga makin beragam. Jika ada pada era 80-an musik pop cengeng begitu mendominasi, lalu pada 90-an slow rock menjadi raja, kemudian pada pertengahan 2000-an, giliran pop melayu jadi idola. Kini semua musisi dengan genre musik yang berbeda bisa nge-hits di waktu yang sama.

Jakarta memang penting. Tapi hari ini musisi yang ingin berkarya tak punya kewajiban tinggal dan menetap di ibu kota. Orang yang berada jauh dari Jakarta, selama punya pengetahuan dan teknologi yang memadai, juga bisa menghasilkan karya musik yang bagus, meskipun tentu saja kualitas produksi daerah dan Jakarta tak bisa benar-benar berada di satu level yang sama. Tapi setidaknya, dengan kemampuan memproduksi musik sendiri akan membuat industri musik di daerah terus berkembang dari hari ke hari. Di Indonesia, salah satu daerah yang punya skena musik cukup baik adalah Kalimantan Selatan.

Musisi Kalsel di Industri Musik Indonesia

Memang tak banyak musisi Kalsel yang bisa sukses di industri musik Indonesia. Jumlahnya bisa dihitung jari.

Radja mungkin bisa dianggap sebagai band asal Kalsel yang paling fenomenal, meskipun sebenarnya urang Banjar di band itu hanya kakak beradik, Moldy dan Ian Kasela. Pada medio 2000-an, Radja menjadi pesaing berat Peterpan lewat album Langkah Baru yang dirilis oleh EMI.

Jauh sebelum kemunculan Radja, masyarakat Indonesia sudah mengenal vokalis asal Banjar dengan karakter vokal melengking sekaligus menggelegar: Arul Efansyah. Di penghujung 80-an, vokalis kelahiran Banjarmasin 5 Agustus 1964 ini sempat bikin geger panggung rock bersama Big Boys. Dia kemudian meraih kesuksesan di era 90-an bersama band asal Surabaya, Power Metal.

Ada pula nama Eet Syahranie yang sudah melegenda di kancah musik rock Indonesia. Pernah terlibat di proyek raksasa Kantata Takwa, menjadi gitaris God Bless menggantikan Ian Antono, dan hingga kini menjadi kapten Edane, tak ada yang pernah meragukan urang Banjar satu ini. Dia menjadi panutan para gitaris top Indonesia.

Selain nama-nama besar itu, ada sejumlah nama berdarah Banjar yang sukses di industri musik Indonesia. Bassis Padi, Rindra Risyanto Noor, dan drummer Gigi, Gusti Hendi, bisa jadi contohnya. Kemudian, ada nama-nama seperti Rio Alif (adittional drummer Noah), Ariadinata (vokalis Samsons), dan Irvan Borneo yang saat ini menjadi sosok penting di balik lagu-lagu Anji.

Baru-baru ini, muncul pendatang baru bernama Syahriyadi. Solois pop melayu asal Barabai ini sedang viral di Tik-Tok. Dia bahkan sudah berkolaborasi dengan Dodhy Kangen Band lewat lagu “Cinta Sampai Akhir”.

Selain nama-nama di atas, agak sulit mencari musisi asal Banua yang bisa menginvasi pasar musik secara nasional. Namun, bukan berarti perkembangan musik di Banua tak bergerak sama sekali.

Eksistensi Musisi Independen Banua

Sejumlah band Banua tercatat masih eksis berkarya. Meski belum mampu mejeng di panggung-panggung ibu kota, tapi mereka cukup mewarnai perkembangan musik di Kalimantan Selatan, khususnya di jalur independen.

Misalnya Radicta. Band pop yang penampilannya pernah dinilai oleh Ahmad Dhani, Lilo Kla Project, dan Tata Janetta, dalam ajang pencarian bakat ini terbilang lumayan. Salah satu single-nya berjudul “Biarkan Cinta Ini” mencapai 93 ribu views di YouTube. Eksistensinya di panggung lokal pun terjaga dengan baik.

Dua tahun lalu, band asal Batulicin, Revife, sempat bikin kejutan dengan menggandeng nama besar di industri musik Indonesia sebagai music director: Denny Chasmala. Denchas juga membantu dalam hal mixing dan mastering pada lagu “Pergilah”. Sayangnya ada masalah konsistensi pada band ini. Setelah single itu dirilis, namanya tak terdengar lagi. Di panggung-panggung lokal, gaungnya tenggelam.

Kemudian ada Penembak Jitu. Melihat dua lagu yang mereka rilis di album Semantik; Philosophia Manusia dan Sendiri Bersandi, band asal Banjarmasin ini jelas tak sembarangan dalam mengolah lirik. Penembak Jitu yang pernah tur dari Jakarta, Bali, sampai ke Malaysia merupakan satu dari segelintir band Banua yang punya perbehendaraan kata sangat melimpah dalam setiap karyanya.

Ada lagi band bernama Muram. Band rock asal Banjarmasin ini membuat musik Banua tidak hanya didominasi oleh band pop dengan alunan nada dan karakter vokal yang mendayu-dayu. Mengusung tema kerusakan lingkungan, kebakaran hutan, dan konflik yang terjadi di Indonesia, Muram punya karakter yang jelas, selain musik dan lirik yang super cadas.

Invasi Punk Banjar di Industri Musik

Richie Petroza, vokalis yang selama ini malang melintang di jalur underground, tiba-tiba mengajak Oveck Arsya, gitaris Ernaveck, band pop rock asal Batulicin, untuk berkolaborasi. Meski beda alam, keduanya tampak punya satu kesamaaan: ingin berkarya. Primitive Monkey Noose (PMN) pun dibentuk bersama tiga personel lainnya: Denny, Juli, dan Arif. Kelima personel memang tak ada yang berdarah asli Banjar, kecuali Oveck. Tapi mereka semua sepakat mengusung filosofi “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Karena filosofi itu, rasa ‘iwak karing masak asam’ pada band ini terasa sangat kuat.

Jika band-band lokal masih saling ‘sikut’ rebutan job acara pernikahan atau tampil mingguan di cafe, PMN justru punya visi yang jauh lebih konkret. Tahun lalu, PMN meminta izin untuk mengcover lagu salah satu lagu karya Fadly Zour. Semua personel PMN sowan ke kediaman keluarga almarhum Fadly Zour di kota Pagatan. Alih-alih membawakan ulang “Pambatangan” yang jauh lebih populer, mereka justru memilih lagu lain berjudul “Mahadang Ading”, lalu mengubahnya menjadi lagu yang bertenaga, cepat, dan bersemangat. Dengan tambahan petikan panting, mereka menyebut musiknya sebagai punk rasa Banjar!

Band Batulicin ini kemudian berhasil menarik perhatian Sony Music Entertainment Indonesia karena keberaniannya mengusung tema lokalitas dan punya karakter musikalitas yang kuat.

Respons Seniman dan Penikmat Musik Kalimantan Selatan

Sepak terjang PMN dan keberhasilannya menarik perhatian mayor label melalui perpaduan punk dan musik tradisional mendapat beragam respons dari pelaku dan penikmat musik Banua.

Penikmat musik Kalsel, Kin Muhammad, mengapresiasi keberhasilan PMN yang bisa menjalin kerja sama dengan Sony Music.

“Keren! Cuma sedikit band-band Kalsel yang bisa seperti itu,” kata pria asal Banjarbaru ini.

Apresiasi juga datang dari seniman tradisi Kalsel, Nahdi NF. Dia menilai pemilihan panting sebagai alat musik tradisional merupakan keputusan yang sangat tepat. “Karena panting itu khas sekali dengan Banjar,” katanya.

Pemain panting di Sanggar Seni Citra Luhur Budaya Banua ini ikut memberikan masukan kepada PMN agar ke depan lebih menonjolkan ciri khas Banjar. Dia mengusulkan agar PMN bisa menggunakan kain sasirangan dalam setiap penampilannya.

“Kalau bisa mereka juga bikin lagu Banjar yang bukan coveran, tapi ciptaan sendiri,” kata Nahdi, memberi saran.

Kepedulian pada budaya daerah memang menjadi nilai plus pada PMN. Hal ini mendapat applause dari pegiat seni dan budaya Kalsel, Arif Rachman.

“Menggarap lagu berbahasa daerah dengan genre apapun itu hal yang biasa, tetapi ada poin yang sangat luar biasa di sini, yakni kepedulian generasi muda yang dengan serius mengangkat lokalitas melalui kolaborasi lagu daerah dengan aliran musik punk rock. Ini menjadi media informasi bagi generasi sekarang untuk lebih mengenal budaya daerah melalui lagu-lagu Banjar. Secara musikalitas tergarap dengan sangat apik dan didukung racikan sound yang oke,” kata fans berat Nirvana dan Soneta itu.

Deddy Rahmat, seniman musik asal Pagatan, menilai PMN telah berhasil membuat gebrakan baru, khususnya di Tanah Bumbu, dengan menggabungkan musik etnik dengan rock.

“Dan lebih bangganya lagi bisa digandeng sama Sony Music. Itu luar biasa untuk kelas daerah,” kata vokalis Sangpeng Borneo Ethnica.

Deddy berharap PMN juga bisa mencapai kesuksesan komersial setelah album perdananya dirilis.

“Menurut saya, musisi harus punya ‘D3’ dan ‘S1’. Maksudnya, punya duit, dekengan atau link, dan doa. Dia harus bisa berdoa untuk mencapai titik tersebut. Kalau sudah punya D3 dia akan punya S1 yaitu jiwa selebritas. Punya talenta untuk dijual di pasar. Bukan cuma sekadar D3 tadi. Tapi musik mereka harus bisa dijual di pasar,” katanya.

Upaya PMN mengkolaborasikan punk dan panting bahkan sampai membuat penikmat musik jazz asal Banjarmasin, Dewi Alfianti, ikut berkomentar. Meski mengaku bukan penggemar punk, tapi Dosen Bahasa dan Sastra Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin ini benar-benar antusias saat menyimak lagu Mahadang Ading dari PMN.

“Gimana, ya. Aku bener-bener nggak cocok sama punk. Tapi setelah mendengarkan, kupikir panting serasi juga dikombinasikan dengan punk. Jadinya, kaya fresh di tengah nuansa punk yang terkesan serba nggak rapi. Liriknya aku suka,” kata fans berat musisi jazz-pop asal Inggris, Jamie Cullum.

Sebelumnya, Dosen Pendidikan Seni Pertunjukan ULM Banjarmasin, Sumasno Hadi, menilai lewat lagu “Mahadang Ading” karya Fadly Zour, PMN akan memberikan kesegaran baru pada budaya musik populer Banjar.

“Spirit rock di lagu ini jadi sesuatu yang segar. Bisa jadi karena player di band ini memang bisa menjiwai lagunya. Masih terasa segarnya,” kata Sumasno Hadi, kepada bakabar.com.

Dari sisi industri, Sumasno menilai musik pop daerah sejatinya memiliki pasar yang baik. Itu bisa dilihat dari dari fenomena Didi Kempot dan dampak yang muncul setelahnya.

Apalagi, lanjut dia, musik pop Banjar punya sejarah panjang dan memiliki nama besar seperti Anang Ardiansyah yang juga dikenal secara nasional. Dia meyakini pihak industri musik bukannya tidak tahu soal ini.

“Sebenarnya penikmat musik pop Banjar itu banyak juga. Dan industri tahu itu. Mereka mungkin menangkap peluang itu. Untuk daerah bagus aja. Meramaikan lah,” katanya.

Sebagai band yang mengusung musik rock, Sumasno berharap ke depan PMN bisa lebih eksploratif dan berani dalam meramu musik-musiknya. “Kalau melihat karakteristik rock adalah keberanian musikal, baik lirik maupun notasi. Ke depan harus mencari sesuatu yang baru. Karena kalau tidak ada pembaruan tidak akan diingat orang,” katanya.

Album perdana PMN bertajuk Self Tittle yang berisi lima lagu akan dirilis pada 25 Maret 2022 besok. Single perdana yang akan dirilis berjudul “Ayo, Keluar!” Lagu-lagu PMN bisa didengarkan via aplikasi musik streaming seperti Spotify, Apple Music, Joox, YouTube, Deezer, Langit Musik, dan Resso.

Patut ditunggu apakah invasi punk banjar ini akan membuat mereka menjadi band utama yang ditunggu-tunggu banyak fans militan dengan banyak kibaran bendera bergambar bekantan atau hanya akan menjadi musisi pembuka di panggung raksasa bernama industri musik Indonesia?



Komentar
Banner
Banner