Usulan Pahlawan Nasional

Intrik di Balik Usul Gelar Pahlawan Datu Kelampayan

Gelar pahlawan nasional Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari tertahan di Dewan Kemiliteran. Ulama karismatik itu dianggap tak ikut angkat senjata. Begitukah?

Featured-Image
Situs peninggalan Kesultanan Banjar; Masjid Sultan Suriansyah. Foto repro via selasar.com

bakabar.com, JAKARTA - Gelar pahlawan nasional Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari tertahan di Dewan Kemiliteran. Ulama karismatik itu dianggap tak ikut angkat senjata. Begitukah?

Ada sejumlah fakta baru yang terungkap dari penelusuran media ini. Mengenai sepak terjang ulama dengan julukan Datu Kelampayan itu.

Syahdan pada 1856. Perang berkecamuk di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Peperangan itu tak luput dari upaya perluasan penguasaan pemerintah kolonial atas kekuasaan politik Islam di luar Pulau Jawa.

Bermodal keuntungan 'tanam paksa', Belanda melancarkan peran. Karena di Banjarmasin terdapat tambang batu bara.

Upaya penguasaannya, seperti ditulis Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku 'Api Sejarah'. Diawali dengan cara Belanda mengintervensi masalah suksesi sultan.

Pemerintah kolonial Belanda kala itu sengaja ikut campur tangan. Akibatnya, menimbulkan keretakan antardinasti.

Lalu terjadilah perang suksesi atau perang pergantian sultan. Antara Pangeran Hidayatullah dengan Tamjidillah dan Prabu Anom.

Ujung dari permasalahan suksesi sultan ini Pangeran Hidayatullah ditangkap. Ia dibuang ke Cianjur, Jawa Barat pada 1862 Masehi.

Namun kala itu rakyat tetap meneruskan pemberontakan di bawah komando Pangeran Antasari. Pun setelah sang panutan wafat. Perjuangan itu dilanjutkan oleh Mohammad Seman.

Suasana Masjid Martapura yang lengang dalam tangkapan fotografer Belanda. Foto: KILTV Leiden Belanda
Suasana Masjid Martapura yang lengang dalam tangkapan fotografer Belanda. Foto: KILTV Leiden Belanda

Dua Dekade Sebelum Intervensi Belanda

Mundur ke 1812. 44 tahun sebelum perang perebutan takhta Banjar berkecamuk. Di era itulah awal mula intervensi pemerintah kolonial Belanda terhadap kesultanan.

Dari tulisan Mansyur Suryanegara. Belanda baru berani melakukan intervensi sepeninggalnya Syekh Arsyad.

"Setelah Syekh Arsyad, ulama fiqih dan tasawuf wafat pemerintah kolonial Belanda baru berani melakukan intervensi," ucap dosen Universitas Padjajaran Bandung itu dikutip media ini dalam bukunya.

Syekh Arsyad punya pengaruh sangat besar dan kuat di kalangan sultan maupun rakyat Banjar kala itu. Ia begitu dihormati karena memiliki ilmu tinggi.

Tiga dekade di Makkah, Syekh Arsyad menimba ilmu bersama ulama tasawuf lain. Yaitu Abdoessamad Al-Palembangi, Abdoellwahab Boegis dan Abdoerrahman Misri Betawi.

"Beliau belajar tasawuf dari Syaikh Abdoelkarim As-Sammani. Tarekatnya disebut Tarekat Sammanijah merupakan cabang dari Tarekat Sjadilijah. Di Indonesia, tarekat Sammanijah tidak dinilai sebagai cabang Tarekat Sjadilijah," jelas Mansyur.

Datu Kelamapayan ulama mendunia dari Banjar, Kalimantan Selatan. Moyangnya berasal dari Kesultanan Mindanao Filipina Selatan.

Sejak usia 7 tahun, Syekh Arsyad diangkat penasehat oleh Sultan Tahmidullah dari Kesultanan Banjar. Setelah menikah dengan Siti Aminah, ia belajar ke Makkah dan Madinah pada 1737.

Menginjak 1722, Syekh Arsyad kembali lagi ke Martapura. Sultan Banjar saat itu adalah Tamjidillah. Masyarakat kemudian menjulukinya sebagai 'Matahari Agama'.

Pewaris takhta Kesultanan Banjar, Pangeran Cevi. Foto dok pribadi
Pewaris takhta Kesultanan Banjar, Pangeran Cevi (kanan). Foto dok pribadi

Cerita Lain dari Pewaris Takhta Banjar

Lebih jauh mengenai sepak terjang Datu Kelampayan di mata Prof Mansyur. bakabar.com sudah berupaya untuk mewawancarainya langsung. Namun ia sudah lama tak aktif di Unpad. Pensiun sejak akhir 1999.

bakabar.com kemudian menghubungi Pangeran Cevi untuk memperoleh informasi tambahan. Namun keturunan Pangeran Hidayatullah itu punya cerita beda mengenai suksesi.

Pengaruh Syekh Arsyad saat itu, kata dia, belum ada korelasinya dengan kekuatan Kesultanan Banjar.

"Kerajaan Belanda belum berdiri, yang ada VOC bangkrut gara-gara tanam modal dengan Kesultanan Banjar di bidang lada," jelasnya dihubungi bakabar.com.

Syekh Arsyad lahir pada 1710 dan tutup usia tahun 1812. Dalam kurun waktu seabad itu, kata Cevi, tak ada perang di Banjar. Kesultanan memang menjalin kemitraan dengan VOC.

Kerajaan Belanda sendiri saat itu masih bernama Republik Batavia. Yang ada hanya kamar dagang Hindia Belanda; VOC. Berdiri sejak 1602. Mereka punya misi memonopoli aktivitas perdagangan di Asia.

Dari cerita Cevi, saat itu Kesultanan Banjar sudah dikenal sebagai pusat peradaban dunia. Masyarakatnya punya julukan 'orang air'. Karena seluk beluk hidupnya tak bisa dipisahkan dari sungai.

Bisa dibilang, periode itu merupakan masa keemasan Kesultanan Banjar. Dipimpin sultan keempat; Mustainbillah.

Tak hanya maju secara perekonomian. Kala itu Kesultanan Banjar juga punya 50 ribu bala tentara.

Di bawah komando Sultan Mustainbillah, Kesultanan Banjar berhasil menumpas upaya VOC untuk masuk ke Tanah Banjar.

Padahal kala itu VOC sudah berhasil mendirikan benteng di kawasan Kuin. Namun tetap tumbang.

Ada sederet alasan mengapa VOC berhasrat masuk ke Banjar. Apalagi kalau bukan karena kekayaan alamnya. Meliputi lada, cengkeh, emas hingga Intan.

"Banjar saat itu dikenal sebagai pusat peradaban dunia karena kealiman masyarakat dan kekayaan alamnya," jelas Cevi.

Kesultanan Banjar-apahabar
Ilustrasi penjajahan VOC era Sultan Banjar IV Mustain Billah

Tak Ada Penjajahan di Era Datu Kelampayan

Kembali membahas Syekh Arsyad. Diakui Cevi, era itu penjajahan VOC lebih banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa. Bisa dibilang Banjar belum tersentuh oleh penjajahan Belanda.

Apalagi setelah kesultanan di bawah Sultan Mustainbillah. Yang berhasil mengusir VOC pada periode 1600-an itu.

"Masa Syekh Arsyad memang gak ada hubungan sama kekuatan Kesultanan Banjar," jelasnya.

Maka, singkat cerita, Cevi melihat usul gelar pahlawan nasional Datu Kelampayan terkesan dipaksakan. Bukan tak setuju. Hanya saja tak relevan dengan perjuangan melawan penjajahan.

Di sisi lain, ia melihat ada kepentingan lain. Terkait Pangeran Hidayatullah. "Hanya untuk menutupi usulan gelar pahlawan nasional bagi Pangeran Hidayatullah," jelasnya.

Melihat sepak terjangnya, Cevi melihat Sultan Mustainbillah-lah yang lebih mendesak untuk diusulkan menjadi pahlawan nasional.

Ia lalu berbicara mengenai Sultan Agung dari Mataram. Tiga kali berupaya mengusir penjajah namun gagal, Sultan Agung kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional atas kiprahnya bertempur melawan VOC.

"Nah sekarang bagaimana dengan Sultan Mustainbillah? Dia bukan lagi hanya berupaya namun sudah berhasil mengusir VOC dari tanah Banjar," ujar Cevi.

Rekam Jejak Diseminarkan, Usul Pahlawan Nasional Datu Kelampayan Ditarget Akhir Maret
Rekam Jejak Diseminarkan, Usul Pahlawan Nasional Datu Kelampayan Ditarget Akhir Maret

Tanpa Gelar Pahlawan, Sudah Diakui Dunia

Rosiyati MH Thamrin tak gusar Datu Kelampayan belum diakui sebagai pahlawan nasional. Kata dia tanpa gelar sekalipun, baginya, Syekh Arsyad Al-Banjari sudah diakui. Bahkan oleh dunia.

Malahan, baginya, Datu Kelampayan tak perlu lagi bergelar pahlawan nasional. Gelar pahlawan nasional, kata dia, hanya akan menyejajarkan sang wali Allah dengan pahlawan lain.

"Jadi tak perlu, bagi saya beliau melebihi pahlawan nasional karena berjuang untuk dunia dan akhirat," ujar Rosiati, putri dari Mohammad Husni Thamrin keturunan Datu Kelampayan dari HM Khalid bin Alimulallamah Qadhi H Abu Naim.

"Beliau memang tak mengangkat senjata, tapi sudah melawan penjajah dengan keilmuan. Berjuang itu tidak mesti dengan senjata kan," sambung salah satu wakil rakyat Kalsel di Senayan, sebutan DPR RI itu, kepada bakabar.com.

Editor


Komentar
Banner
Banner