bakabar.com, JAKARTA – Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Daeng M Faqih, menyebut persoalan Vaksin Nusantara bukan hanya sekadar nasionalisme dan niat baik, tapi juga harus memperhatikan beberapa aspek penting seperti keamanan, efikasi, dan kualitas.
“Kalau bicara niat, semuanya kita sepakat niatnya baik mendorong produksi lokal. Cuma masalah prosedur dan protokol ini yang kita permasalahkan. Mari kita fokus pada prosedur yang benar dalam pengembangan vaksin,” ucap Daeng dikutip dari CNN Indonesia, Sabtu (17/4).
“Jangan hanya berpikir niat nasionalisme, sudahlah protokolnya cincai. Enggak bisa begitu,” imbuhnya.
Daeng menjelaskan tim vaksin nusantara harus mengikuti tahapan yang sudah ditetapkan oleh BPOM, meski ada pihak lain yang juga punya kapasitas yang sama untuk menilai kelayakan suatu vaksin. Hal ini karena BPOM memiliki mandat dari negara dan memiliki otoritas terkait izin dan peredaran obat serta vaksin.
“Yang melakukan penilaian itu hanya BPOM, jadi kalau bukan BPOM siapa? Negara memberikan amanahnya ke BPOM. Kalau pihak lain enggak ada otoritas. Apa ada yang mampu yang lain? banyak, Kemenkes pun mampu melakukan penilaian. Tapi Kemenkes tidak punya otoritas yang memiliki wewenang. Termasuk IDI,” ujarnya.
Selain itu ia juga meminta agar semua pihak tidak meragukan penilaian dari BPOM. Sebab, menurutnya jika BPOM tidak profesional, maka sudah banyak obat-obatan dan vaksin yang berdampak buruk.
“Katakan BPOM enggak profesional, itu udah buyar obat-obatan dan vaksin yang lain,” ucapnya.
Sebelumnya, BPOM belum mengeluarkan PPUK uji klinis fase II vaksin Nusantara karena belum memenuhi sejumlah syarat, di antaranya syarat cara pembuatan obat yang baik (CPOB).
Selain itu BPOM juga merilis beberapa temuan mereka yaitu komponen yang digunakan dalam penelitian vaksin nusantara tidak sesuai pharmaceutical grade, kebanyakan impor, hingga antigen virus yang digunakan bukan berasal dari virus corona di Indonesia.
Kepala BPOM Penny K Lukito meminta agar proses penelitian vaksin Nusantara diulang kembali dari proses pre-klinik guna mendukung kaidah penelitian yang tepat. BPOM meminta penelitian pre klinik pada hewan itu juga perlu dilakukan pendampingan oleh Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) sesuai dengan hasil kesepakatan dalam Rapat Dengar bersama Komisi IX DPR RI 10 Maret lalu.
Kementerian Kesehatan juga telah menghentikan sementara pengembangan vaksin Nusantara atas permintaan tim peneliti dari RSUP dr Kariadi Semarang.
Anggota Tim Peneliti Vaksin Nusantara Muhammad Karyana mengaku hingga kini pihaknya belum mendapat rekomendasi secara tertulis dari BPOM soal vaksin Nusantara, termasuk permintaan agar penelitian diulang dari tahap pre klinis.
Karyana juga membantah pernyataan BPOM soal tim peneliti yang tidak memberikan balasan evaluasi.
“Kami jadi peneliti di uji klinis, pasti kami jawab. Tidak mungkin kita cuekin. Kami peneliti bukan seorang politisi, kami hanya ingin cari tentang sebuah metode yang kira-kira bisa bermanfaat bagi penanganan Covid-19,” ujar Karyana.