bakabar.com, JAKARTA – Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) terus menggelar sosialisasi Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke sejumlah daerah.
Melansir CNBC Indonesia, salah satu isu penting dalam Revisi Undang-Undang KUHP ini yaitu akan membuka kemungkinan menjerat orang-orang yang menyerang harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden melalui media sosial atau pun sarana elektronik lainnya, dengan hukuman tindak pidana penjara selama 4,5 tahun atau denda paling banyak hingga Rp 200 juta.
Kemenkumham saat ini telah melakukan pengenalan atau sosialisasi bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi, aparat penegak hukum, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Adapun sejumlah kota yang menjadi tempat diselenggarakan sosialisasi yakni Jakarta, Medan, Semarang, Denpasar, Yogyakarta, Ambon, Makassar, Padang, Banjarmasin, Surabaya, Mataram dan Manado.
Adapun tindakan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden tertuang dalam Bab II Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Bagian kedua Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 218 ayat 1 berbunyi:
“Setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau denda paling banyak kategori IV.”
Meski demikian, pasal di atas tidak akan berlaku jika dilakukan untuk membela diri. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 218 ayat 2 yang berbunyi:
“Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.”
Hal tersebut berarti, orang yang melakukan penghinaan tidak akan dihukum apabila terbukti melakukannya untuk membela atau melindungi diri.
Selanjutnya, ancaman hukuman bisa bertambah 1 (satu) tahun apabila penghinaan itu dilakukan lewat media social atau sarana elektronik lainnya seperti yang tertuang dalam Pasal 219 Bab II tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang berbunyi:
“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Adapun denda kategori IV yang dimaksud di atas yaitu maksimal Rp 200 juta (Pasal 799 RUU KUHP).
RUU KUHP juga menegaskan, delik di atas bersifat delik aduan, sehingga aparat tidak bisa menindak apabila presiden atau wakil presiden yang bersangkutan tidak mengadu ke kepolisian. Itu artinya, meski telah melakukan penghinaan atau penyerangan melalui media sosial, pelaku tidak akan mendapat hukuman selama Presiden atau Wakil Presiden tidak melapor. Hal itu diatur dalam pasal 220 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
“(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.”