bakabar.com, BARABAI – Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin mengeluarkan hasil putusan banding yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Putusan tersebut terkait kasus penodaan agama Islam oleh terdakwa Nasruddin, warga Hulu Sungai Tengah (HST) yang mengaku nabi terakhir.
Hasil itu disampaikan melalui releas pemberitahuan putusan banding Nomor 18/Pid.B/2020/PN Barabai yang diwakilkan kepada Penasihat Hukum (PH) terdakwa, Achmad Gazali Noor. PT Banjarmasin memutus memperkuat putusan Pengadilan Negeri Barabai.
Majelis Hakim PT menilai, putusan persidangan pada tingkat pertama sudah sesuai, yakni dengan merehabilitas terdakwa selama 1 tahun di RSJ Sambang Lihum Kabupaten Banjar.
Walau terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana Penodaan Agama seperti pada Pasal 156 a KUHP, namun terdakwa Nasruddin tidak bisa dipidanakan. Sebab terdakwa mengalami gangguan jiwa (psikotik) jenis waham menetap seperti yang diungkapkan saksi ahli yang membidangi kejiwaan, Sofyan Saragih saat diperiksa di persidangan PN Barabai.
Hal itu mengacu pada Pasal 44 KUHP. “Putusan Ini sesuai dengan harapan kami,” kata PH terdakwa, Gazali pada bakabar.com melalui pesan WhatsApp, Kamis (23/7).
Amar putusan majelis tingkat banding Nomor 85/Pid/2020/PT BJM per 16 Juli 2020 itu sudah melalui pemusyawaratan Majelis Hakim PT Banjarmasin yang diketuai Siti Suryati dengan 2 hakim anggota yakni, Johny Aswar dan Moestofa pada Rabu (8/7).
Sebelumnya, pada sidang tingkat pertama atau di PN Barabai, 3 hakim persidangan dissenting opinion atau berbeda pendapat, Rabu (13/5).
Hakim Ketua, Eka Ratna Widiastuti dalam putusannya, terdakwa Nasruddin divonis lebih dari tunturan jaksa, yakni dari 3 tahun menjadi 4 tahun.
Sedangkan dua hakim anggota, Ariansyah dan Novita Witri memvonis tidak dapat dipidana tetapi direhabilitasi selama 1 tahun di RSJ. Karena suara mayoritas tidak bisa dipidana, terdakwa diputuskan untuk direhabilitas.
JPU, Prihanida Dwi Saputra pun berkoordinasi dengan atasannya untuk mengambil upaya hukum. Itu sesuai Pasal 193 Ayat 3 dengan mengajukan banding usai mendapat putusan hakim tadi.
SesuaI fakta persidangan dakwaan JPU, kata Hanida, telah terbukti melakukan tindak pidana terkait Pasal 156 a KUHP dan jelas tidak ada alasan pembenar. Hanya saja perbedaan ada pada pandangan hukum yakni, pidana.
Hanida menilai, Pasal 44 yang dimaksud tidak bisa dipidana itu seperti pertumbuhan jiwa tidak sehat, misalnya idiot atau terganggu karena penyakit.
“Gangguan Waham Menetap yang diderita terdakwa ini tidak masuk dalam Pasal 44. Makanya bisa dipertanggungjawabkan (secara pidana-red). Bagaimana bisa dia dari 2003 -2019 dengan pengikut yang mencapai 50-an. Bahkan dia bisa mendoktrin orang. Ini perlu dipertimbangkan,” kata Hanida saat itu.
Yang utama perlu dipertimbangkan, lanjut Hanida adalah nilai keadilan warga di HST.
"Di sinikan masyarakatnya agamis kami Penuntut Umum mewakili masyarakat menyuarakan suara masyarakat kita yang agamis,” tutup Hanida.
Setelah melakukan perundingan dengan pimpinan mereka, Kajari HST, Trimo, JPU pun mengambil upaya hukum banding.
Pada 13 Mei 2020 JPU pun mengajukan banding atas putusan PN Barabai. Per 20 Mei, jaksa sudah menyerahkan memori banding.
Editor: Muhammad Bulkini