bakabar.com, JAKARTA – "Jika ada Hari Ibu, mengapa tak ada Hari Ayah?" Demikian pertanyaan yang kerap dilontarkan sejumlah kalangan untuk mendobrak dikotomi peran seorang ayah yang juga tak kalah pentingnya.
Menyambut kegelisahan itu, maka peringatan Hari Ayah Nasional pun dicetuskan dalam sebuah deklarasi pada tahun 2006 di Solo pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejak itulah setiap tanggal 12 November diperingati sebagai Hari Ayah Nasional.
Sejatinya, peran seorang ayah dalam tumbuh kembang anak memiliki porsi yang seimbang dengan ibu. Sehingga, kehilangan vigur ayah memungkinkan munculnya situasi mental yang rumpang, terutama bagi anak perempuan, salah satunya yaitu daddy issues.
Apa Itu Daddy Issues?
Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar daddy issues? Kawula muda seringkali memaknai istilah ini sebagai ketertarikan perempuan terhadap lelaki yang lebih tua, atau biasa disebut 'om-om'.
Daddy issues pun kerap digunakan untuk mendeskripsikan perempuan yang mempunyai pola perilaku rebel alias suka memberontak. Bahkan, menggambarkan preferensi kaum hawa yang suka mendapat perlakuan 'kasar' di ranjang.
Padahal, makna daddy issues yang sebenarnya tidak melulu berkonotasi seksual. Untuk mengenal istilah ini lebih lanjut, simak pembahasan berikut yang dirangkum dari berbagai sumber.
Kondisi Psikologis karena Keluarga Tak Harmonis
Daddy issues merupakan kondisi psikologis yang terjadi pada seseorang yang memiliki hubungan kurang harmonis dengan ayahnya. Kondisi ini juga bisa terjadi ketika seseorang sama sekali tak merasakan kehadiran sosok ayah dalam hidupnya.
Melansir jurnal Role of Father in Child Personality Development (2019), kehadiran sosok ayah berperan penting dalam perkembangan psikologis dan sosial anak. Sebab, pola ikatan antara ayah dan anak yang terbentuk sejak kecil bakal memengaruhi cara membangun hubungan dengan orang lain di masa depan.
Bila ikatan antara keduanya kurang baik, tak menutup kemungkinan sang anak berpotensi sulit mempercayai orang lain, ingin selalu mencari perhatian, dan haus kasih sayang. Mereka juga lebih berisiko terjebak dalam toxic relationship dengan pasangannya kelak.
Sementara itu, jika ditarik dari akar silsilahnya, Healthline melaporkan, daddy issues bermula dari istilah Father Complex yang diciptakan Sigmund Freud, psikoanalisis dari Austria. Istilah tersebut menggambarkan impuls dan asosiasi bawah sadar seseorang sebagai dampak hubungan buruk dengan ayah mereka.
Bukan Gangguan Mental
Daddy issues memang bukan masalah kesehatan mental, namun kondisi ini bisa memengaruhi pola pikir, sikap, karakter, dan perilaku seseorang. Beberapa sikap dan perilaku yang umumnya menandai kondisi ini, antara lain hanya tertarik pada orang yang lebih tua.
Ya, seseorang yang mengalami daddy issues cenderung tertarik menjalin hubungan romantis, baik pacaran atau menikah, dengan orang yang usianya lebih tua.
Hal ini karena mereka mendambakan kehadiran father figure alias sosok ayah yang bisa memberikan perhatian, kasih sayang, dan rasa aman, sebagaimana yang tidak mereka dapatkan semasa kecil.
Selain itu, orang yang mengalami daddy issues seringkali tak suka kesendirian, insecure, dan selalu merasa takut ditinggalkan pasangannya. Sebab, mereka cenderung sulit mempercayai orang lain, sehingga akan selalu menuntut kepastian, perhatian, dan kasih sayang.
Dalam hubungan romantis, hal ini tentunya tak sehat. Bahkan, orang yang mengalami daddy issues kemungkinan bakal terjebak dalam toxic relationship dengan pasangannya.
Daddy Issues Bisa Diatasi
Meski bukan gangguan mental, daddy issues ternyata dapat diatasi dengan berkonsultasi ke psikolog atau psikiater. Dengan konsultasi, masalah dan luka yang berkaitan dengan sosok ayah di masa lalu bisa segera teridentifikasi.
Setelah masalah tersebut teridentifikasi, barulah bisa dilakukan penanganan lewat terapi atau konsumsi obat-obatan tertentu. Sehingga, mereka yang mengalami daddy issues setidaknya bisa mengatasi gejala kecemasan yang kerap dirasakan.
Demikianlah pembahasan mengenai daddy issues, kondisi psikologis yang berkaitan dengan kehadiran sosok ayah semasa kecil. Pahitnya masa lalu memang tak bisa diubah, tetapi cara memandang diri dan masa depan masih bisa diubah.