bakabar.com, JAKARTA - Pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2019. Namun, siapa sangka, wacana yang demikian rupanya sudah digaungkan oleh Guru Sekumpul sekira dua dekade silam.
“Kalau Indonesia ingin maju, ibu kota pindah ke Kaltim,” begitu kiranya ucapan sang ulama karismatik sebagaimana dituturkan Dokter Dhiauddin. Dia mendengar langsung perkataan tersebut saat mengunjungi Guru Sekumpul.
Menurut ulama bernama lengkap KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani, Kaltim lebih layak dijadikan ibu kota ketimbang provinsi lain. Sayangnya, Dokter Dhiauddin tidak menjelaskan secara rinci alasan di balik pemikiran tersebut.
Kendati begitu, Ustaz Khairullah Zain menilai ada faktor spiritual yang membuat Guru Sekumpul sempat berpikir demikian. Dirinya mengatakan seorang wali Allah memang punya kemampuan visual dan nalar yang berbeda dengan orang awam.
“Mereka berpikir menggunakan Akal Rabbani, sehingga mampu membaca yang belum terbaca oleh orang awam,” ungkap santri yang lama ikut mengaji di Sekumpul itu.
Kemampuan berpikir dan bernalar dengan Akal Rabbani inilah, kata Zain, yang kadang membuat orang awam susah memahami jalan pikiran para wali Allah.
“Para wali Allah telah melihat apa yang tidak mampu dilihat oleh orang awam dan menalar apa yang tidak mampu dinalar orang awam. Mereka tidak hanya mengalami kasyaf hissi atau inderawi, tapi juga kasyaf maknawi,” jelasnya.
Meski tidak ada dalil menyebutkan secara gamblang dalam Al-Quran, namun Khairullah Zain meyakini ada dalil yang diisyaratkan dalam sebuah Hadits Qudsi. Itu menyatakan bahwa bila Allah sudah mencintai seorang hamba, maka Dia jadi ‘pendengaran’ bagi orang terkasihnya.
Seorang wali Allah, sambung Khairullah Zain, bukan hanya panca inderanya saja yang diambil alih oleh sang pencipta. Melainkan, juga indera keenam yang berupa akalnya – bahkan, hal ini yang lebih utama.
“Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah menyatakan bahwa jika telah mencintai seorang hamba, maka Dia menjadi pendengaran yang hamba tersebut mendengar dengannya. Dia menjadi penglihatan yang hamba tersebut melihat dengannya, menjadi tangan yang hamba tersebut memukul dengannya, menjadi kaki yang hamba tersebut berjalan dengannya,” beber Khairullah Zain.