bakabar.com, MARABAHAN – Gerah akibat hak tidak dipenuhi, puluhan warga Desa Antar Baru, Kecamatan Marabahan, menutup jalan ke perkebunan sawit milik PT Barito Putera Plantation (BPP) di Barito Kuala, Kamis (12/12).
Penutupan tersebut tidak serta-merta mematikan operasional perusahaan. Warga hanya menutup jalan masuk ke perkebunan di wilayah Antar Baru, tepatnya setelah perbatasan Desa Antar Raya.
Pemasangan portal berupa kayu besar dan tali tersebut dilakukan warga Antar Baru bersama Tim Adat Dayak Meratus, serta disaksikan anggota Kodim 1005 Marabahan dan Polres Barito Kuala.
Meski pemasangan portal berlangsung tidak kurang selama 3 jam, tidak seorang pun perwakilan perusahaan yang berinteraksi dengan warga.
Sebelum portal dipasang, dilakukan ritual adat Dayak Meratus berupa mengorbankan dua ayam hitam.
Latar belakang pemortalan ini cukup panjang. Semuanya diawali dari pengingkaran perjanjian ganti rugi dari perusahaan kepada warga, serta penyerobotan lahan.
“Ini merupakan lahan masyarakat turun-temurun. Namun sejak izin lokasi dikeluarkan pertengahan 2009, hak masyarakat sebagai pemilik lahan tidak pernah dipenuhi oleh perusahaan,” ungkap Rita, salah seorang warga Antar Baru.
Kendati belum memberi ganti rugi, perusahaan tetap menggarap lahan warga seluas 3.006 hektare tersebut. Bahkan sudah cukup banyak pokok sawit yang sudah berbuah.
“Padahal tak sedikit lahan warga yang sudah memiliki sertifikat. Hanya sekitar 114 sertifikat masih dalam proses. Namun kemudian sertifikat kami yang diterbitkan sejak 2017, ditindih perusahaan dengan Hak Guna Usaha (HGU) mulai 2018,” beber Rita.
“Sebenarnya sepuluh tahun lalu sudah pernah dilakukan pertemuan antara masyarakat pemilik lahan, perusahaan dan pemerintah. Kemudian disepakati ganti rugi sebesar Rp850 ribu per hektar. Tapi sampai sekarang belum pernah direalisasikan,” tambahnya.
Kemudian untuk mendapatkan solusi, warga pernah membawa persoalan ganti rugi ke Pengadilan Negeri Marabahan di pertengahan 2016.
Namun putusan yang diterima adalah Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) atau gugatan tak dapat diterima, karena mengandung cacat formil.
“Putusan NO itu sangat disayangkan, karena kami memiliki surat-surat tanah, sementara perusahaan tidak memiliki data apapun,” jelas Rita.
“Kami sebenarnya sudah bosan mempertanyakan penyebab HGU dapat melapis sertipikat kami. Padahal data ukur dan pemasangan patok lahan kami resmi dilakukan BPN,” tegasnya.
Ternyata sengketa tidak cuma terkait lahan yang telah ditanami. Ratusan hektar lahan yang sudah diolah, juga menyimpan masalah sejak 2010.
“Sebenarnya sudah disepakati ganti rugi sebesar Rp850 ribu per hektare. Tetapi setelah lahan dikeruk dan siap ditanami, kami tidak pernah mendapatkan apapun,” imbuh warga lain bernama Rahmadi.
Sementara Kepala Desa Antar Baru, Mahdi, berharap proses penuntutan berlangsung damai. Di sisi lain, perusahaan juga diharapkan bersedia mengakomodir aspirasi warga, mengingat persoalan tersebut sudah berlarut-larut.
“Justru kedepan kami berharap tercipta hubungan harmonis antara perusahaan dengan masyarakat dan pemerintah desa. Kalau terus bermasalah, kesejahteraan bersama sulit diperoleh,” sahut Mahdi.
Sampai persoalan selesai, pemasangan portal menjadi satu-satunya cara yang dapat membuat perusahaan tergerak memenuhi hak-hak pemilik lahan.
“Memang komunikasi pemerintah desa dengan perusahaan sedikit terhambat. Tapi kami berprasangka baik saja, karena mungkin mereka belum memiliki waktu bertemu,” jelas Mahdi.
“Namun kalau seandainya terdapat kekurangan dari kedua belah pihak, lebih baik diselesaikan dengan baik-baik,” tandasnya.
Baca Juga: Jadi Wakil Bupati, Walhi Kalsel Serahkan 'Save Meratus' ke Pundak Berry
Baca Juga: Sengkarut Pemanfaatan Sumur Bor di Banjarbaru, TRGD Kalsel: Seperti Tak Bertuan