Bisnis

Ekonom Kritik Impor Beras Besar-besaran

Impor beras saat ini memecahkan rekor dalam 25 tahun terakhir

Featured-Image
PARA pekerja membongkar beras impor di pelabuhan.(Foto: Istimewa)

bakabar.com, JAKARTA – Kebijakan impor beras besar-besaran ala Presiden Joko Widodo mendapat kritikan sejumlah ekonom. Mereka menilai impor beras jutaan ton itu serampangan, bahkan 'bergaya' Orde Baru (Orba).

Sebagaimana diketahui, pemerintah memutuskan menambah impor beras 1,6 juta ton, dari 2 juta ton ke 3,6 juta ton, pada 2024


Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian mempertanyakan justifikasi impor beras yang dilakukan pemerintah. Ia lantas membedah data perberasan pada 2023 lalu.

Meski dilanda El Nino, kata Eliza, produksi beras Indonesia sebenarnya hanya turun 650 ribu ton menjadi 30,9 juta ton. Sedangkan konsumsi sepanjang 2023 hanya 30,8 juta ton alias masih surplus tipis 100 ribu ton.


"Tapi kita lihat impornya (2023) sampai 3 juta ton. Berarti artinya ini impornya gak sesuai dengan kebutuhan atau berbasis data. Ini yang perlu kita kritisi. Jika tujuan impor itu untuk menutup produksi dalam negeri yang gak cukup, harusnya seimbang antara penurunan dengan impornya. Tetapi ini impornya sangat-sangat tinggi, bahkan tingginya hampir setara krisis waktu Orde Baru," ucapnya dalam diskusi virtual Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), yang dikutip dari CNNIndonesia.com, Rabu (28/2/2024).

Impor beras pada zaman keruntuhan Orba mencapai 2,79 ton pada 1998 dan bengkak ke 3 juta ton pada 1999.

Eliza menyebut data Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat stok beras Indonesia ada 7,4 juta ton pada akhir 2023 lalu. Sementara, konsumsi rata-rata nasional per bulan hanya 2,5 juta ton.

Karena itu, ia heran angka impor beras yang bombastis tersebut datang dari mana. Terlebih, beberapa daerah di Indonesia sudah akan panen pada Maret 2024.

"Artinya, impor bukan menutup kekurangan produksi. Semestinya, keputusan impor diambil ketika sudah ketahuan berapa jumlah panennya pada puncak panen raya nanti," ucapya.

Eliza curiga adanya permainan beras yang dipegang swasta. Menurutnya, lonjakan harga beras tidak hanya imbas pola kenaikan di setiap awal tahun.

Ia juga menyoroti tingginya permintaan beras, terlebih Indonesia baru saja menjalani Pemilu 2024 yang akan dilanjutkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada September mendatang. Di lain sisi, Ramadan dan Idulfitri 2024 sudah menanti.

"Jadi, selain karena pattern tahunan tadi, ada juga persoalan lain yang membuat semakin kisruhnya persoalan beras. Ini yang paling mendasar adalah persoalan ketiadaan data yang valid dan realtime di rantai pasok," ucapnya.

"Kita hanya bisa menelusuri beras yang ada di pemerintah, itu cuma 10 persen. Sedangkan 90 persen beras yang dikuasai swasta tidak bisa ditelusuri, berasnya ada berapa di penggilingan itu tidak bisa kita tracking. Dan karena itulah membuat seolah-olah langka segala macam karena kita tidak bisa menelusuri di mana sih beras itu ada," tambahnya.

Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB University Dwi Andreas Santosa menyebut impor beras di rezim Jokowi memecahkan rekor dalam 25 tahun terakhir. Ia menegaskan rekor tersebut akan kembali pecah di akhir kepemimpinan Jokowi jika seluruh impor beras di 2024 ini terlaksana.

"Kalau 2024 ini dilaksanakan semua, maka 2024 mencetak rekor baru impor beras, karena keputusan impor 2024 diambil di Desember 2023 sebesar 2 juta ton. Dua hari lalu pemerintah memutuskan lagi tambahan impor 1,6 juta ton. Sehingga 2024 beras impor pemerintah 3,6 juta ton. Kalau ditambah swasta biasanya sekitar 300 ribu ton-400 ribu ton, sehingga akan mendekati 4 juta ton di 2024. Ini sudah barang tentu ini akan sangat berdampak buruk pada sedulur petani kita," beber Andreas.

"Impor 2023 diputuskan dengan asumsi kita akan mengalami penurunan produksi sangat tajam akibat El Nino, itu alasan yang sering disampaikan. Untuk itu, ini saya sebut keputusan impor serampangan karena tanpa data, dasar, dan perhitungan. Dan itu diulang kembali di 2024. Tahunnya belum ada, di akhir 2023 pemerintah sudah memutuskan impor 2024 sebesar 2 juta ton," sambungnya.

Padahal, Andreas memperkirakan produksi padi tahun ini akan mengalami peningkatan karena sudah tak ada El Nino. Meski panen raya bergeser, produksi padi tahun ini diperkirakan naik 2 persen hingga 3 persen menjadi 31,5 juta ton-31,8 juta ton.

Ia pun melihat bahwa pemerintah hanya berkelit dengan mencari alasan mengapa banjir impor harus dilakukan.

Andreas dan Eliza kompak mengatakan ada narasi defisit beras yang digaungkan Jokowi Cs sehingga membuat masyarakat awam panik.

Andreas mengatakan cara pemerintah berkelit adalah dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait defisit produksi beras bulanan di Januari 2024-Februari 2024. Padahal, cara menghitung stok beras tidak seharusnya seperti itu.

"Memang betul terjadi defisit di Januari 1,63 juta ton, Februari 1,15 juta ton, hampir 2,8 juta ton, itu terus menerus disampaikan. Masyarakat awam panik, 'wah ini memang betul-betul defisit beras Republik Indonesia ini' sehingga rakyat panik, kemudian ritel modern kosong, itu menyebabkan panic buying," jelas Andreas.

"Padahal, stok awal beras kalau perhitungan saya 6,1 juta ton di awal 2024. Sehingga pemerintah seharusnya menyampaikan bahwa Januari 2024-Februari 2024 surplus 3,9 juta ton. Tapi kalau itu yang disampaikan, lalu dari mana justifikasi impor?" sindirnya.


Peneliti Researcher Center of Economic and Law Studies (Celios) Jaya Darmawan mempertanyakan urgensi pemerintah menggenjot impor beras mendekati panen raya.

Menurutnya, impor beras yang sangat banyak tersebut malah berpotensi membuat harga gabah anjlok dan merugikan petani.

Jaya menyarankan negara seharusnya benar-benar hadir di tengah para petani Indonesia. Ia tak ingin impor beras itu tidak dilandasi dialog dengan petani dan kondisi nyata stok beras nasional.

"Melihat situasi mendekati panen raya, saya kira kebijakan ini (impor beras) tidak hanya jalan pintas, tapi malah bisa berpotensi salah kalkulasi," ujar Jaya.


"Pemerintah tidak perlu tergesa-gesa memutuskan kebijakan tambahan impor beras mendekati panen raya, yang jatuhnya nanti malah merugikan petani. Kebijakan pemerintah terkait manajemen stok beras kali ini perlu dipertanyakan, apakah selama ini berbasis data atau hanya asumsi semata?" imbuhnya tak habis pikir.

Jaya lantas menyindir salah kalkulasi pemerintah soal perberasan pada 2023 lalu. Menurutnya, perhitungan BPS soal dampak El Nino hanya menurunkan 650 ribu ton produksi beras Indonesia, sementara pemerintah menambal 'terlalu tebal' dengan impor jumbo sebanyak 3 juta ton beras.

Jika negara khawatir dengan dampak perubahan iklim yang mengerek harga beras, Jaya berharap cara yang ditempuh lebih 'elegan' dan win win solution.

Ia menyarankan negara hadir dengan membantu petani menurunkan ongkos produksi, misalnya dengan membenahi program subsidi pupuk, meningkatkan permodalan untuk petani, atau pemberian insentif produksi.


Terpisah, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengungkapkan alasan mengapa pemerintah menambah kuota impor beras tahun ini sebesar 1,6 juta ton sehingga menjadi 3,6 juta ton.

Sebelumnya, kuota impor beras yang ditentukan tahun ini 2 juta ton, maka dengan tambahan itu pemerintah akan mengimpor 3,6 juta ton pada 2024.


Arief menerangkan, kuota tambahan impor itu merupakan langkah kewaspadaan terhadap kekurangan beras ke depan. Karena menurutnya, kondisi iklim yang mempengaruhi pertanian tidak bisa diprediksi, maka harus disiapkan cadangan beras pemerintah (CBP).

Dia mengklaim keputusan impor beras oleh pemerintah dilakukan secara terukur sehingga tidak menjatuhkan harga beras produksi petani dalam negeri.

"Ini precaution (kewaspadaan) negara kita ini harus punya cadangan pangan pemerintah. Tahun lalu teman-teman tanya kenapa impor? Hari ini semua terbukti bahwa dilakukan impor terukur, harga di petani jatuh tidak? Waktu ini impor kita 3 juta ton harga di petani jatuh nggak? Karena kita impor terukur. Kita harus close juga dengan BMKG kalau ini satu bulan lagi baru ada hujan, artinya harus mempersiapkan 3 bulan ke depan," ujar Arief.

Dia menjelaskan, langkah impor beras juga dilakukan sebagai antisipasi atau sistem peringatan dini (early warning system). Jadi, jika terjadi sesuatu hal yang berkaitan dengan pasokan pangan, maka Indonesia memiliki cadangan untuk intervensi.

"Bisa memastikan nggak bakal ada banjir atau tidak di beberapa tempat? Jadi kan kita mesti tahu petanya. Karena kalau Kementerian Pertanian nanam 1 juta hektare itu, apakah 100% akan berhasil?" ujar Arief kepada wartawan di Hotel Margo Depok, Jawa Barat, Selasa (27/2/2024).

Langkah impor juga dilakukan untuk pemenuhan cadangan beras pemerintah (CBP) di mana fungsi dari CBP untuk intervensi harga dan stok di lapangan. Kewaspadaan ini juga dilakukan karena kondisi pangan dunia juga tidak baik, terutama masalah harga.

"Harga di dunia ini akan tinggi, seluruh dunia itu harga pangan memang naik, inputnya semua naik. Jadi harus disampaikan kepada publik bahwa biaya input petani naik. Kalau harga inputnya naik, harga gabahnya rendah, petani rugi, nanti nggak mau nanam lagi," pungkasnya.(*)

Editor


Komentar
Banner
Banner