bakabar.com, DENPASAR – Umbu Landu Paranggi berpulang. Guru dari Emha Ainun Nadjib dan banyak sastrawan Indonesia itu meninggal dunia setelah terkonfirmasi positif Covid-19.
Hal itu dibenarkan oleh Kasubag Humas Rumah Sakit Umum Bali Mandhara (RSBM), I Gusti Agung Putu Aditya Mahendra, Selasa (6/4/2021).
“Meninggalnya karena positif Covid-19,” katanya.
Berdasarkan informasi yang diterima dari petugas yang merawat, Umbu meninggal pada Selasa (6/4/2021), pukul 03.55 Wita. Untuk saat ini, jenazah Umbu Landu Paranggi sudah berada di ruang jenazah.
“Sekarang sih lagi proses formalin di kamar jenazah. Posisi masih di kamar jenazah sekarang. Tadi saya ke dalam lagi di formalinin,” jelas Aditya.
Berita meninggalnya almarhum sebelumnya ramai diperbincangkan di media sosial, baik Twitter maupun Facebook, pada Selasa (6/4) pagi. Banyak akun mengabarkan meninggalnya Umbu Landu Paranggi.
Sastrawan sekaligus kurator Bentara Budaya Bali, Warih Wisatsana, mengabarkan kabar duka ini lewat akun Facebook-nya.
“Sahabat kita, Bung Umbu Berpulang. Guru batin kami pamitan dini pagi tadi. Kawan-kawan yang berjaga di rumah sakit Bali Mandara mengabari, pukul 03.55 Wita. Mohon maaf dan perkenan doa teman-teman bagi Penyair rendah hati yang tulus ini, semoga lapang jalan pulangnya dalam naungan Kasih Sang Maha Indah,” tulis Warih Wisastana.
Akun @outletmaiyah juga mengunggah video bagaimana Emha Ainun Nadjib menjelaskan bagaimana bersahajanya Umbu Landu Paranggi. “Dia tidak kepincut dengan dunia. Dia raja besar, dia tinggalkan kerajaannya tetap jalan tapi dia tidak mau jadi raja, dia jadi gelandangan di Jogja dan di Bali,” kata Cak Nun memulai ceritanya tentang Umbu Landu Paranggi.
Umbu Landu Paranggi, seorang penyair besar hidup bersahaja. Ia tidak pernah bersepeda dan ke manapun memilih berjalan kaki. “Dia kaya tidak mau kaya, dia raja tidak mau jadi raja,” kata Cak Nun, dikutip dari Tempo.co.
Suami Novia Kolopaking ini menambahkan, puisi-puisi Umbu Landu Paranggi diakui semua seniman penikmat sastra Indonesia. Tapi Umbu enggan terkenal.
“Kalau sastra itu puncak prestasinya adalah puisi dan karya sastra Anda dimuat di Majalah Horison atau Majalah Sastra. Jadi kalau kamu penyair, kalau sudah dimuat di Horison itu seperti naik haji, sudah merasa di puncak prestasinya. Kalau puisi Umbu itu seluruhnya akan dimuat di Majalah Horison. Jadi Horison khusus puisi-puisinya Umbu. Ampuh kan? Itu cita-cita penyair kan? Bisa dimuat, full lagi,” kata Cak Nun menjelaskan.
Namun, alih-alih bisa ditemukan di Majalah Horison atau Majalah Sastra, redaktur yang datang ke Yogyakarta untuk meminta puisi-puisi Umbu, akan tersenyum kecut. Meski Umbu tak bisa menolak dan memberikan seluruh puisinya kepada redaktur Horison.
Tapi, ia mengikuti redaktur itu ke Jakarta. Diam-diam, ia mendatangi lokasi percetakan dan mencuri puisi-puisinya yang akan dimuat itu. “Sehingga orang Horison bingung di mana puisi-puisinya. Jadi dia tidak mau puisinya dimuat. Anda cari ke manapun puisianya enggak ada, wong dia enggak mau dimuat,” kata Cak Nun.
Pada 1970an, Umbu Landu Paranggi membentuk Persada Studi Klub, yang merupakan komunitas penyair, sastrawan, seniman di Malioboro, Yogyakarta. Ia pun dikenal sebagai Presiden Malioboro. Persada Studi Klub ini menjadi tempat belajar sastrawan-sastrawan Indonesia.