bakabar.com, BANJARMASIN - Langgar Al-Hinduan yang saat ini sedang direnovasi untuk dijadikan tempat bersejarah, menyimpan segudang cerita yang membuat langgar ini istimewa.
Sejarawan Kalsel Mansyur menyebutkan lebih dari satu abad, tepatnya sekitar 106 tahun sejak dibangun pada1915.
Langgar ini didirikan Habib Salim bin Abubakar al-Kaff atas tanah wakaf istrinya, Syarifah Salmah Al-Hinduan. Dari marga istrinya tersebut, akhirnya diabadikan menjadi nama tempat ibadah ini.
Baca Juga: Dulu Kini, Sejarah Jembatan Dewiâ£â£â£â£â£ Banjarmasin Tempo Dulu
Dalam ceritanya menyebutkan bangunan langgar tersebut awalnya berbentuk rumah. Sebelum akhirnya diubah menjadi langgar. Berdasarkan keterangan orangtua pada zaman dahulu langgar tersebut awalnya rumah milik Syarifah Salmah Al Hinduan.
“Karena itu, langgar tersebut diberi nama Langgar Al Hinduan. Syarifah Salmah usai menghibahkan rumahnya sebagai tempat ibadah bersama sang suami Habib Alwi memilih hijrah ke Makkah,” kata Mansyur.
Hingga saat ini tidak ada sanak saudara Syarifah Salmah di sana. Beliau memilih hijrah ke Makkah. Akhirnya digunakan masyarakat sebagai tempat ibadah.
Gelar Al-Hinduan pertama kali disematkan pada Waliyyullah Umar bin Ahmad bin Hasan bin Ali bin Muhammad Mauladdawilah.
“Langgar yang juga mendapat sebutan Langgar Batu ini juga menjadi saksi bisu perkembangan Nahdlatul Ulama cabang Banjarmasin pada tahun 1931,” kata Mansyur dalam ceritanya.
Diketuai H Gusti Umar, dengan dibantu oleh Said Ali Alkaf, H Achmad Nawawi, dan H Hasyim yang berkantor tidak jauh dari langgar Al Hinduan, yakni di Jalan Sungai Mesa, Kota Banjarmasin.
Tokoh Said Ali Alkaf dari Banjarmasin menjadi satu di antara tokoh sentral. Sebelum berdiri di Banjarmasin NU didirikan H Abdul Qadir Hasan bersama-sama dengan Habib Alwi Al Kaf, Habib Hamid Hasria (keduanya dari Banjarmasin) dan lainnya mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama di Martapura pada 1927.
Delapan tahun setelah berdirinya NU yang pertama kali di Kalimantan Selatan (1927), tepatnya 1936 digelar Muktamar ke-11 NU di kota ini.
Dalam Muktamar ke-11 itu muncul pertanyaan “Apakah nama negara kita menurut syaraâ agama Islam?” Keputusan Muktamar menyatakan: “Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan negara Islam karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah asing, tetapi nama negara Islam tetap selamanya”. Argumen fiqhnya diambilkan dari Kitab Bughyatul Mustarsyidin, pada Bab Hudnah wal Imâmah.
Pada kemudian hari menjadi suatu keputusan yang kelak menjadi landasan para ulama mencetuskan resolusi jihad menghadapi Belanda dan sekutunya yang hendak menjajah kembali Indonesia pada 1945-1949.
Baca Juga: Dulu Kini, Sejarah Gedung Bank Mandiri Banjarmasin Tempo Dulu
Hasil dari pembahasan ini adalah adanya tekanan-tekanan dari politik kolonial Belanda membuat Nahdlatul Ulama yang pada awalnya menitikberatkan pada bidang keagamaan, pendidikan, dan perekonomian ikut ambil bagian dalam menentang penjajahan.
Diawali dari Muktamar ke-11 di Banjarmasin 1936. NU bersikap kooperatif terhadap Pemerintah Belanda dengan adanya penolakan terhadap kebijakan milisi, menentang ordonansi-ordonansi.
Muktamar itu juga menghasilkan beberapa keputusan diantaranya yang terpenting adalah penyampaian Mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda yang berisi penolakan dan permintaan pembatalan peraturan Kawin Bercatat (Houwelijke Ordonnantie).
Selain masalah agama, keputusan yang juga di ambil ialah yang menyangkut masalah sosial dan pendirian cabang baru pasca Muktamar itu antara lain NU di Kelua, Alabio, dan Ampah.
Saat ini Langgar Al Hinduan menjadi tempat ibadah masyarakat di sekitarnya dan pada Agustus 2023 telah dilakukan rehabilitasi untuk Langgar Al Hinduan.
“Langgar Al Hinduan memiliki potensi cagar budaya. Mengenai nilai sejarah, memang masih perlu pendalaman lewat kajian kembali,” kata Mansyur.
“Tentunya dalam penentuan status cagar budaya, bukan hanya nilai sejarahnya yang menjadi dasar utama, tetapi nilai yang lain yakni ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, serta kebudayaan umumnya,” tutupnya.