bakabar.com, BANJARMASIN – Pembahasan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini menuai pro dan kontra di masyarakat. DPR di akhir masa periodenya kembali melanjutkan pembahasan revisi UU lembaga yang sudah berumur 17 tahun tersebut.
Berbeda sikap dengan DPC GMNI Banjarmasin, DPD GMNI Kalsel malah menolak pengesahan draft revisi UU KPK 2019 itu secara keseluruhan.
“Lantaran, ini sarat dengan kepentingan politis. Kemudian dapat melemahkan kelembagaan KPK,” ucap Ketua DPD GMNI Kalsel, Ridho Ary Azhari kepadabakabar.com, Senin (16/9) siang.
Seharusnya, kata dia, kelembagaan KPK mesti diperkuat dengan mencantumkan KPK ke dalam Konstitusi Negara atau UUD 1945, agar kedudukannya menjadi lembaga negara yang permanen.
“Kemudian, perlu adanya penyempurnaan UU KPK melalui pembahasan yang terbuka, dengan melibatkan masyarakat sebagai bentuk dukungan penguatan KPK,” terangnya.
Walaupun agenda ini tak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019, sontak menimbukan kecurigaan di balik proses pembahasan revisi UU KPK di DPR RI.
“Pemerintah juga terlihat tergesa-gesa,” tegasnya.
Apalagi, berdasarkan kajian Lembaga Tranperency International pada 2018, Indonesia berada di urutan ke-89 dalam Indeks Persepsi Korupsi.
“Sehingga ini memberikan gambaran, betapa panjangnya langkah untuk menuntaskan permasalahan korupsi di negeri ini,” bebernya.
Publik pun berharap banyak kepada Lembaga anti rasuah ini dalam hal penanganan korupsi.
Sehingga, penguatan kedudukan KPK sangat diperlukan. Terutama agar dapat bekerja secara optimal, efektif, dan efisien untuk melakukan tindakan pidana pemberantasan korupsi.
“Langkah konkrit penguatan KPK dimulai kedudukannya yang mesti dicantumkan ke dalam konstitusi,” tegasnya.
Selanjutnya, perlu penyempurnaan aturan dasar UU KPK. Agar sesuai dengan amanat UUD 1945 yang telah diamandemen.
“Sayangnya, draft revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atas usulan DPR yang sedang bergulir saat ini, sangat terlihat untuk melakukan pelemahan terhadap KPK,” cetusnya.
Kalaupun Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Surat Presiden untuk mengoreksi beberapa poin draft tersebut, tetap saja tak banyak hal yang berubah.
Sebab, akan dibentuknya Dewan Pengawas KPK. Satu sisi akan menguatkan kinerja KPK dan bekerja lebih profesional serta berhati-hati.
“Namun, di sisi lain dengan kewenangannya untuk memberikan izin dalam hal penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, sangatlah menganggu proses penyelidikan serta penyidikan yang dilakukan oleh KPK ke depan,” ujarnya.
Kedua, ada usulan menjadikan Pegawai KPK ke dalam kategori ASN. Hal ini, dinilai akan beresiko terhadap independensi KPK dalam penanganan kasus korupsi di instansi pemerintahan.
“Bahkan, bisa membuat pegawai KPK tunduk dengan aturan dan lembaga terkait serta membuat KPK menjadi lembaga semi-eksekutif,” katanya.
Ketiga, sumber penyelidik dan penyidik KPK yang diusulkan haruslah berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Sedangkan koreksi dari Presiden, penyelidik dan penyidik KPK juga bisa bersumber dari PPNS.
“Mengingat kembali salah satu dasar pendirian lembaga ini pada 2002, yaitu atas ketidakpercayaan terhadap institusi kepolisian dan kejaksaan dalam hal penanganan korupsi. Seharusnya, penyelidik dan penyidik KPK steril dari unsur kepolisian maupun kejaksaan,” paparnya.
Hal ini dilakukan agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam kerja KPK. Terlebih, mengenai hilangnya hak KPK dalam hal kewenangan strategis, sangatlah mengganggu dalam proses penegakan hukum yang dilakukan KPK.
“Kita mengimbau kepada masyarakat untuk tetap memandang isu revisi UU KPK secara objektif, tidak terpancing atau terbawa narasi pihak manapun,” tandasnya.
Baca Juga: Hari Ini DPR Gelar Paripurna Sahkan 5 Pimpinan KPK
Baca Juga: Mahfud MD Menilai Persoalan RUU KPK Hanya pada Prosedurnya
Reporter: Muhammad Robby
Editor: Muhammad Bulkini