bakabar.com, BANJARBARU - Eks lahan peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) di Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala (Batola), Kalimantan Selatan (Kalsel) seolah terabaikan.
Digagas pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian, dikelola Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalsel lewat Dinas Pertanian dan Holtikultura kala itu, program tersebut tak memiliki arah yang jelas.
Proyek itu sebelumnya sudah mendapat sorotan dari oraganisasi Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Kalsel. Lantas bagaimana respons Pemprov Kalsel?
Setelah Dinas Pertanian dan Holtikultura berganti jadi Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Kalsel, seolah kini lepas tangan.
Kepala DPKP Kalsel, Syamsir Rahman bahkan mengaku tidak mengetahui siapa yang punya ide soal proyek HPS di Jejangkit 2018 silam. Alasannya kata dia, saat itu belum menjabat kepala dinas.
"Kabupaten yang punya lokasi, aku belum masuk jadi Kadis. Aku tidak tahu," kata dia.
Sebaliknya, untuk kelanjutannya eks lahan HPS itu kata Syamsir, yang memprogramkan dari Kabupaten Batola.
"Pemerintah pusat membantu tahun pertama dan kedua. Setelah itu lahan dan petaninya jadi kewenangan kabupaten untuk melanjutkannya," ujar Syamsir.
Menurut Syamsir, kebanyakan lahan di Jejangkit milik orang luar. Artinya bukan milik penduduk setempat. "Sehingga dibiarkan begitu saja tidak dikelola," katanya.
"Nanti setelah ada program dan bantuan dari pemerintah maka akan ramai mereka datang dan mengatakan lahan itu milik mereka," imbuh Syamsir.
Namun Syamsir tak menampik dananya bersumber dari APBN melalui Kementerian Pertanian, lalu dikelola Dinas Pertanian Kalsel. Tapi diketahui ada dana sharing antara pusat, provinsi, dan kabupaten.
Sayangnya, Samsir tidak dapat merinci total anggaran yang digunakan, termasuk dalam rangka terlaksananya pembukaan lahan pertanian dan HPS ke-38 di Jejangkit itu.
Memang banyak problem. Tapi kata dia, kewenangan dan kelanjutan eks lahan HPS itu menjadi kewenangan kabupaten yang melaksanakannya. "Tidak mungkin terus menerus dari pusat dan provinsi," tandasnya.
Flashback ke 2018 silam, lahan di Kecamatan Jejangkit ini dijadikan sebagai pengolahan lahan pertanian untuk memperingati HPS ke-38. Digelar 18-20 Oktober 2018 lalu.
Proyek Kementerian Pertanian dan Dinas Pertanian Kalsel tersebut dianggap sebagai momentum strategis memperkenalkan pembangunan sektor pertanian Indonesia kepada dunia.
Diharap bisa memanfaatkan potensi lahan tidur khususnya daerah rawa lebak menjadi lahan pertanian produktif. Berpotensi sebagai tambahan stok pangan nasional.
Di acara puncak HPS kala itu dihadiri Presiden Jokowi. Ada 4.200 hektare lahan rawa yang disulap menjadi lahan pertanian produktif.
Akan tetapi, eks lahan HPS di Jejangkit tersebut kini seolah terabaikan. Pembukaan lahan justru dinilai jadi pangkal banjir di beberapa titik di Batola.
Sorotan datang dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel. Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Kalsel, Jefri Raharja berkata, wacana tentang ketahanan pangan berlangsung ketika proyek seremonial akan dilaksanakan tak terwujud.
Pada 2018 lalu, Jejangkit memang merupakan penghasil gabah yang tidak sedikit. Yakni sekitar 4 ribu hektare lahan yang panen. Namun, pada Tahun 2022 hanya seluas 1.114 hektare saja yang tertinggal.
Luasan panen turun drastis. Keadaan ini menegaskan jika warga Jejangkit yang berada di sekitar eks lahan HPS bukan hanya gagal panen, tapi juga gagal tanam.
"Sehingga produksi gabah sudah pasti menurun," kata pria akrab disapa Cecep itu, Selasa (22/8).
Jefri menekankan, pihaknya merasa proyek HPS tidak menjadi role model utama dalam wacana ketahanan pangan yang berkelanjutan. Kegiatan seperti itu hanya sekadar proyek seremonial.
Bukan tanpa alasan kata dia. Awal Tahun 2023 Walhi mendapat laporan warga, bahwa ada dugaan pelanggaran oleh perusahaan sawit Julong Group yaitu PT. Palmina Utama dan PT Putra Bangun Bersama yang diduga melakukan kegiatan pemompaan air berlebihan hingga memperparah banjir di Jejangkit.
Kasus tersebut sangat lambat ditangani pemerintah. Terus berlarut-larut. Hingga beberapa kali audiensi di tingkat eksekutif dan legislatif.
Namun belum ada upaya penegakan hukum atau sanksi terhadap perusahaan yang jelas melanggar aturan. Sekarang musim kering melanda Kecamatan Jejangkit dan ada beberapa titik kebakaran lahan.
Artinya kata dia, infrastruktur pembasahan maupun pencegahan kebakaran tidak menjadi basis utama dalam kerangka pembangunan atau pelaksanaan proyek HPS. Mubazir.
Menurut Jefri, proyek HPS tidak menjadi role model utama dalam wacana ketahanan pangan yang berkelanjutan, tetapi hanya sekedar proyek seremonial.
Sekarang musim kering melanda Jejangkit dan ada beberapa titik kebakaran lahan.
Artinya, kata dia infrastruktur pembasahan maupun pencegahan kebakaran tidak menjadi basis utama dalam kerangka pembangunan atau pelaksanaan proyek HPS itu.
"Lebih parah lagi jika ternyata proyek HPS 2018 lalu hanya menjadi alat pencitraan bagaimana terlaksananya proyek seremonial yang tidak berkelanjutan," ketusnya.
"Pencitraan yang dimaksud bisa untuk Pemprov Kalsel atau gubernur," sambungnya.
Sebab, kata dia dalam konteks lahan HPS di Jejangkit, yang jadi pertanyaan apakah pemprov sudah melakukan riset yang komprehensif dan partisipatif bersama warga di areal HPS.
"Jangan sampai warga dan petani hanya dilibatkan dalam hal teknis operasionalnya saja atau lebih parah jika masyarakat petani yang punya kekayaan pengetahuan lokal di sana hanya sebagai objek event seremonial pemerintah saja," ujarnya.
Lantas, lanjut dia, ketika ada kasus sengketa atau konflik agraria dan lingkungan pemerintah seolah saling lempar tanggungjawab seperti upaya pelaporan yang dilakukan masyarakat Jejangkit pada Maret hingga Juni 2023 lalu.
Baca Juga: Walhi Kalsel Soroti Eks Lahan HPS di Jejangkit Batola hingga Gagal Tanam