bakabar.com, JAKARTA - Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Demikian kiranya prinsip yang dianut Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari – dikenal juga Datu Kalampayan – dalam menyiarkan agama Islam di Tanah Borneo, lebih tepatnya Banjarmasin.
Ketika menjadi dai termasyhur di sana, Datu Kalampayan menyatukan orang Kalimantan dengan mazhab syafi’i. Alasannya, mayoritas warga sekitar memang telah bernaung pada fatwa tersebut.
Ulama kelahiran 19 Maret 1710 itu juga gigih mempertahankan aliran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sekaligus, menjadi penasehat atau mufti Kesultanan Banjar dan penulis yang produktif.
Salah satu karyanya, Kitab Sabilal Muhtadin, bahkan menjadi rujukan bagi mahasiswa yang mendalami agama Islam di Asia Tenggara dan Mesir. Kepiawaian Datu Kalampayan dalam menyiarkan agama Islam yang demikian, ternyata, tak terlepas dari masa kecilnya.
Keturunan Rasulullah yang Belajar 30 Tahun di Mekah
Datu Kalampayan sendiri telah mendalami agama Islam sedari kecil. Ilmu itu dia pelajari langsung dari keluarganya, yang notabene termasuk kalangan Alawiyyin yang silsilahnya merujuk hingga Rasulullah.
Di samping menyelami ilmu agama, Datu Kalampayan juga begitu tertarik dengan seni lukis dan tulis. Konon, siapa pun yang melihat hasil goresan tangannya, bakal terpukau sedemikian rupa, sebagaimana yang dialami Sultan Tahmidullah.
Kala itu, sang Sultan Banjar melihat hasil lukisan Datu Kalampayan yang baru berusia tujuh tahun. Saking terkesan, dia pun meminta orang tua Arsyad kecil agar mengizinkan putranya tinggal di istana.
Waktu demi waktu terus berlalu, Datu Kalampayan merasa belum cukup ‘puas’ dengan ilmu yang dimilikinya. Sebab itu, kala usianya menginjak 30 tahun, dia terbang ke Tanah Suci, Mekkah, untuk memperdalam ilmu agama.
Tak serta merta berguru, Datu Kalampayan mulanya melakukan ibadah haji terlebih dulu. Barulah, dia bermukim di Haramain selama tiga dekade untuk mempelajari berbagai ilmu, bukan cuma agama Islam.
Dia berguru langsung pada sejumlah guru besar, antara lain Syekh Hasan bin Ahmad al-Yamani, Syekh Ahmad bin Abdul Mun'im ad-Damanhuri, serta Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az-Zabidi.
Kepada para gurunya tersebut, Datu Kalampayan mempelajari berbagai bidang keilmuan, seperti fikih mazhab Syafi'i, tasawuf, sains, serta astronomi. Dia pun menjalin kekerabatan dengan beberapa orang dari Tanah Air yang juga menuntut ilmu di sana.
Kembali ke Tanah Air
Pada 1772, Syekh Muhammad Arsyad akhirnya tiba di Banjar. Perayaan pun digelar di ibu kota kerajaan tersebut demi menyambut kedatangan sang ulama dari Tanah Suci.
Sultan Tahlilullah II, yang kala itu bertahta menggantikan sultan sebelumnya, lantas menjadikan Datuk Kalampayan sebagai Kadi Negeri. Jabatan tersebut setara dengan penasihat raja.
Kendati begitu, sang mahaguru justru lebih memilih tinggal di luar istana. Dirinya kemudian mendirikan Pesantren Dalam Pagar di atas tanah milik sultan yang dihadiahkan kepadanya.
Saat itu pula lah, Datu Kalampayan mulai giat menulis. Beberapa karyanya membicarakan masalah-masalah fiqih mazhab syafi'i dan tasawuf. Sayangnya, masih banyak kitab yang tak terlacak keberadaannya hingga kini.
Bagaimanapun, karya-karyanya yang eksis sampai saat ini masih terus dipakai di sejumlah lembaga pendidikan, baik dalam maupun luar negeri. Sabilal-Muhtadin, misalnya, adalah buku monumental tentang fiqih mazhab Imam Syafi'i yang terdiri atas dua jilid.
Buah pemikiran Datu Kalampayan tak cuma dicurahkan melalui buku-buku yang dia tulis sendiri. Tidak sedikit pula muridnya yang juga menghimpun ceramah-ceramah sang syekh ke dalam beberapa buku.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari wafat dalam usia yang melampaui satu abad, 108 tahun, pada 1812. Sampai saat ini, namanya tetap dikenang sebagai ulama Kalimantan pelopor dakwah Islam di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.