Nasional

Dari Belanda, Ahmad Nabriz Berbagi Pengalaman Hadapi Covid-19 untuk ‘Papadaan’ Banua

apahabar.com, BANJARMASIN – Tinggal ribuan kilometer dari tanah kelahiran, tidak membuat Ahmad Nabriz mengurangi kepeduliannya terhadap…

Featured-Image
Ahmad Nabriz dan istri. Foto-Ahmad Nabriz for apahabar.com

bakabar.com, BANJARMASIN – Tinggal ribuan kilometer dari tanah kelahiran, tidak membuat Ahmad Nabriz mengurangi kepeduliannya terhadap keluarga dan kerabat dekat di Kalimantan Selatan.

Di tengah pandemi penularan virus menular Covid-19, Nabriz, sapaan akrabnya, berinisiatif menghubungi bakabar.com untuk berbagi kisah selama di perantauan.

“Saya mengirim pesan supaya wawasan keluarga kita di Banjar makin luas dengan membandingkan. Biasanya kalau tidak dikisahkan seperti ini, warga tidak mau mendengarkan,” ungkap pria 30 tahun dalam obrolan santai melalui pesan singkat bersama bakabar.com.

Alumni Universitas Gadjah Mada ini tinggal di Belanda setelah mendapatkan beasiswa dari Kementerian Keuangan RI pada 2016 silam. Nabriz menyelesaikan pendidikannya sebagai mahasiswa pasca-sarjana di Maastricht University satu tahun kemudian. Dia tak sendiri, sang istri juga tengah menempuh studi program doktoral di sana.

Mengutip data National Institute for Public Health and the Environment, 15.723 terkonfirmasi positif Covid-19 dengan jumlah kematian 1.487 orang.

Menurut Nabriz, walau kondisi terbilang parah, pemerintah Belanda belum menerapkan sistem lockdown seperti yang dilakukan negara-negara terdekat.

“Di Belanda kondisinya cukup parah. Kalau tidak salah masuk 10 besar walau di-list paling akhir. Tapi, belum menerapkan full lockdown ekstrem seperti di Perancis, Jerman atau Spanyol,” terangnya.

Pemerintah bahkan tak segan untuk memberikan denda bagi masyarakat yang melanggar aturan social distancing. Kendati terbilang ketat, mereka masih diperkenankan beraktivitas di luar ruangan dengan syarat tidak banyak orang yang berkumpul.

“Misal berkumpul lebih dari 3 orang di ruang publik bisa kena denda sampai 400€ per orang. Tapi seperti saya jalan-jalan bersama istri saja saat senja ke taman dekat rumah atau berolahraga, masih diperbolehkan,” katanya.

Sama seperti di Indonesia, pemerintah Belanda juga menerapkan masyarakat untuk bekerja dari rumah (Work From Home). Hal itu pun mengakibatkan menurunnya penghasilan sejumlah pelaku usaha.

“Toko-toko, tempat makan tutup semua kecuali pelayanan afhaal (pesan antar). Dampak ekonomi menghantam cukup keras pada bisnis restoran Indonesia di Belanda,” ungkapnya

Tak hanya sektor food and beverage, bahan pokok hingga alat pelindung diri seperti hand sanitizer juga sempat langka. Namun, mereka tak ambil pusing, sebab kebanyakan masyarakat Belanda cukup disiplin dalam melakukan pencegahan secara mandiri.

“So far, rate penularan masih mending (di angka ratusan) ketimbang negara lain yang mencapai ribuan dalam sehari. Kalau masker tidak ada masalah, kakek nenek saja masih selow jalan tanpa masker,” imbuhnya

img

Kondisi terkini Belanda. Foto-Ahmad Nabriz for bakabar.com

Masifnya penularan Covid-19 tak menimbulkan gesekan sosial di negeri Kincir Angin tersebut. Apabila di beberapa wilayah Indonesia terjadi penolakan hingga pengucilan korban Covid-19, maka hal itu tidak berlaku di Belanda.

“Mungkin karena adatnya berbeda. Di sini, mereka yang sakit akan ditangani oleh GGD (departemen kesehatan). Pasien yang parah disuruh diam di rumah atau menelpon call service kemudian akan dikirim ambulans dan tenaga medis. Orang yang mati bisa dikubur atau dikremasi,” terangnya.

Kesadaran akan hukum juga membuat tingkat penularan di Belanda menjadi terkendali. Bahkan tidak ada sistem pemeriksaan seperti menggunakan Rapid Test. Baik warga lokal maupun warga negara (WN) sementara diwajibkan memiliki asuransi standar.

“Faktor kedisiplinan warga menjadi penentu utama. Kata orang, di Belanda ini sejak kecil diajarkan ‘her recht’ is recht”, yang artinya hukum ya hukum,” jelasnya

Di Belanda, semua akses keluar masuk ditutup hingga Juni atau menyesuaikan perkembangan. Parlemen European Union (EU) memblokir akses Schengen bagi WN luar.

Sebagai perantauan, Nabriz tak kehilangan akal untuk mengisi waktu selama masa WFH. Mulai dari bertukar pesan lewat video call bersama teman-temannya hingga menjalankan hobi.

“2 hari sekali kami main tebak gambar online sambil video call. Terkadang bergantian memasak dan ditag di sosial media. Seminggu sekali jalan ke taman atau bersepeda,” katanya

Pria yang aktif dalam asosiasi Mata Garuda Kalsel ini juga memperingatkan agar masyarakat banua patuh pada aturan pemerintah dalam upaya memutus rantai virus Corona.

“Kalo mecal (tidak patuh), takutnya jadi kayak Jerman, Italia dan Spanyol. Tidak menyangka sama sekali, mayat di mana-mana sekarang. Kalau mecal, bisa jadi bala (musibah),” pesannya mengakhiri.

Reporter: Musnita SariEditor: Puja Mandela



Komentar
Banner
Banner