Toponimi Jakarta

Cerita yang Tumbuh dan Tertimbun di Pasar Tanah Abang

Pasar Tanah Abang menyimpan cerita panjang. Tak hanya dikenal sebagai pusat perbelanjaan terbesar di Asia Tenggara, kawasan ini juga tumbuh dari sejarah

Featured-Image
Salah Satu Sudut di Kawasan Pasar Tanah Abang(Foto: BS. Apahabar doc)

bakabar.com, JAKARTAPasar Tanah Abang menyimpan cerita panjang. Tak hanya dikenal sebagai pusat perbelanjaan terbesar di Asia Tenggara, kawasan ini juga tumbuh mengakar dari sejarah dan kisah orang-orang yang dihidupi oleh geliat perniagaan.

Keringat mengucur dari dahi seorang kuli yang membopong karung di punggung, adalah pemandangan yang mengakrabi keseharian mereka yang bergelut di pasar ini. Pedagang sandang mulai ramai memadati trotoar, sampai-sampai membuat akses pejalan kaki pun tersendat.

img

Kuli Panggul Tanah Abang (Foto: BS. Apahabar doc)

Begitulah umumnya rutinitas di Tanah Abang, pasar tekstil dengan arus perputaran ekonomi yang senantiasa dipenuhi lautan manusia. Pusat perbelanjaan grosir ini terkenal tak pernah sepi pembeli, terlebih saat momen menjelang Idulfitri.

Tanah Abang, yang oleh lidah Betawi disebut Tenabang, sudah eksis sejak tahun 1735. Yustinus Vinck, seorang anggota Dewan Hindia Belanda, adalah sosok yang mendirikan pasar tersebut dengan izin dari Gubernur Jenderal Abraham Patramini.

Baca Juga: Ketua Asosiasi Franchise Ingatkan Pengusaha untuk Miliki Kode Etik

Namun, sebelum menjadi pusat perbelanjaan, pasar yang berlokasi di Jakarta Pusat itu dulunya adalah kawasan rimbun nan asri. Pengelolaan lahan ini bermula ketika seorang kapitan asal Cina, Phoa Beng Gam, membuka kebun pada 1648.

img

Pasar Tanah Abang tempo dulu (Foto: historia.id)

Lahan tersebut disulap menjadi hamparan perkebunan, mulai dari kacang, jahe, melati, nanas, sirih, hingga sayur-mayur. Itulah sebabnya, kawasan Tanah Abang memiliki banyak nama jalan yang diawali kata 'kebun'.

Hampir seabad setelahnya, barulah Vinck mendirikan Pasar Tanah Abang. Usut punya usut, nama tersebut rupanya sudah ada sebelum pasar itu berdiri. Lebih tepatnya, ketika pasukan Kerajaan Mataram bermarkas, di mana askar-askar pimpinan Sultan Agung itu menyebut tanah berwarna merah di kawasan ini dengan kata 'abang'.

Baca Juga: Mengukur Khasiat Pembesar Alat Vital lewat 'Daun Bungkus Papua'

Pada awal-awal tahun berdirinya, pusat grosir itu tidak serta merta menemukan jalan suksesnya. Perputaran uang justru baru kembali hidup pada abad ke-20, ketika banyak saudagar Cina dan Arab bermukim di Tanah Abang.

Kala itu, kambing menjadi komoditas utama yang diperjualbelikan di pasar ini. Itulah sebabnya, Tanah Abang sempat dijuluki sebagai Pasar Kambing selama kurun waktu 300 tahun eksistensinya.

img

Pasar Tanah Abang di Era 1980-an (Foto:istimewa)

Seiring berjalannya waktu, Pasar Tanah Abang tumbuh makin pesat. Ribuan pedagang dan pembeli, berduyun-duyun memadati pasar ini.

Sampai akhirnya, pemerintah memberikan 'wajah baru' untuk Tanah Abang, sebagaimana yang dikenal sekarang.

Bangunan pasar direnovasi sedemikian rupa hingga membuat bangunan pasar nampak lebih mewah. Sejumlah blok pada gedung pasar itu bahkan dilengkapi dengan fasilitas pendingin ruangan.

Baca Juga: 'Pelarian' ala Sarjana: Tepatkah Lanjut S2 karena Tak Kunjung Dapat Kerja?

Meski begitu, Pasar Tanah Abang seolah tak pernah lepas dari kritik. Tak sedikit masyarakat memprotes kemacetan di luar gedung yang selalu hadir tiap harinya.

Belum lagi, tingkat kriminalitas yang tinggi, cukup membuat masyarakat khawatir akan keselamatan dan kenyamanan diri sendiri.

Hingga saat ini, wajah Pasar Tanah Abang masih terus memoles diri lewat pembenahan berkala hingga penertiban preman yang acapkali mengusik ketertiban.

Sebagai sentra perniagaan, di tempat ini pula gerak ekonomi bangsa berdenyut. Bersama harapan dari semua lapisan yang datang untuk mengais rupiah. 

Editor


Komentar
Banner
Banner