bakabar.com, JAKARTA – Kisah tentang kesehajaan, wara, dan kesederhanaanUmarbin Khattab, tak pernah habis. Ini tak lain karena Nabi Muhammad SAW adalah inspirasi terbaik sepanjang masa.
Suatu saat, Umar bin Khattab meneteskan air mata saat menemui Nabi Muhammad SAW di kediaman beliau yang amat bersahaja di samping Masjid Nabawi. Umar bertanya, ”Bagaimana engkau masih begini wahai Rasulullah, padahal kunci perbendaharaan bumi sudah di tangan engkau?” Nabi menjawab, ”Ini nubuwat (citra diri seorang nabi) wahai Umar, bukan kaisar, bukan kisra!”
Kesahajaan Nabi SAW menurut ukuran yang wajar pada masanya merupakan petunjuk empiris bagi umat Islam bahwa seorang pemimpin harus bisa menempatkan dirinya pada posisi sesuai dengan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat.
Para khalifah al-rasyidah (khalifah yang mendapat bimbingan Allah) sepeninggal Nabi, di antaranya Umar bin Khattab, ketika menjadi kepala negara Islam pada 634-644 M terkenal sangat peka terhadap rasa keadilan ini.
Pada masa pemerintahan Umar pernah terjadi krisis ekonomi (masa paceklik). Di tengah suasana keprihatinan ituKhalifah Umarberjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan makan daging dan minyak samin yang waktu itu harganya melambung tinggi karena sulit diperoleh. ”Bagaimana saya bisa mementingkan nasib rakyat, kalau saya sendiri tidak merasakan kesulitan yang mereka alami,” kata Umar ketika itu.
Sebagaimana diceritakan oleh para pencatat sejarah Islam di antaranya Iyadh dan Zaid bin Aslam, di tahun itu Umar berubah kulit mukanya menjadi hitam dan kering. ”Andaikan musim kelaparan itu tidak lekas diakhiri Tuhan, besar dugaan kami bahwa Amirul Mukminin Umar ibnu Khattab akan tewas karena turut menderita bersama rakyatnya,” tutur Zaid bin Aslam.
Mengapa Khalifah Umar sampai berbuat demikian, padahal kalaupun beliau dan keluarganya makan daging dan minyak samin di rumahnya tidak ada hukum yang akan menyalahkan? Khalifah Umar melakukannya demi menjaga rasa keadilan dalam masyarakat.
Tugas pemimpin dalam Islam antara lain adalah sebagai penjaga keadilan. Segala sesuatu yang ‘melukai rasa keadilan’ dalam masyarakat, cepat atau lambat pasti akan menimbulkan akibat yang merugikan dan membahayakan. Sebab, rasa keadilan merupakan naluri kehidupan yang tidak bisa diingkari dan tidak boleh dipermainkan.
Baca Juga:Menyambut Kehadiran Anak, Begini Adabnya Menurut Islam
Baca Juga:Kisah Manusia Pertama Pelantun Ayat Suci Alquran
Sumber: Khazanah Republika.co.id
Editor: Aprianoor