Kasus yang menimpa MRA bermula pada dua bulan lalu ketika ia ingin berkonsultasi soal pengajuan syarat mendapat beasiswa. Si pelaku kebetulan bertugas di bagian urusan beasiswa.
"Saat itu chat saya tidak direspons oleh yang bersangkutan," ceritanya dengan mata sedikit berkaca.
Baru pada awal September, si pegawai memberi jawaban.
"Tidak bisa, dek, khusus untuk calon mahasiswa baru saja," MRA menirukan balasan pesan si pegawai.
Lantas dengan jawaban tersebut, MRA tak lagi merespons. Tetapi, lima hari berselang, si pelaku kembali menghubunginya lewat pesan singkat.
Sejak itulah berbagai modus mulai dilancarkan si pegawai. Mulai dari menanyakan identitas MRA, seperti program studi di kampus, hingga alamat rumah.
Buka-bukaan! Mahasiswi di Banjarmasin Alami Catcalling Oleh Oknum Pegawai Kampus
Pegawai tersebut kemudian mengajaknya jalan meski MRA mengaku tak mengenalnya. Bertemu langsung pun tak pernah. Hanya sebatas melihat foto profil di akun whatsapp-nya.
Masih dalam batas wajar, MRA lantas menjawab satu per satu pesan dari si pegawai. Sebab, secara tersirat, si pegawai memberikan harapan beasiswa ke MRA.
"Saya agak bingung juga kan, karena saat itu dia bilang tidak bisa lagi (mendapat beasiswa)," tutur mahasiswa semester awal ini.
Sayangnya, tawaran beasiswa dari si pegawai tak bisa didapatnya secara cuma-cuma atau gratis.
Alih-alih langsung ke inti pembahasan, si pegawai malah bertanya apa yang bisa diberikan MRA jika ia berhasil menembuskan beasiswanya.
"Lalu saya tanya maksudnya apa? Karena masih belum paham apa yang dimaksud dia (pelaku)," ujar MRA.
Pesan masih berlanjut. Si pegawai lantas menawarkan MRA untuk menjalin hubungan pribadi dengannya.
MRA bilang bahwa ia sudah memiliki tunangan. Si pegawai kemudian kembali bertanya, apakah MRA benar-benar sudah bertunangan. MRA lagi-lagi menjawab bahwa hal tersebut benar adanya.
Sampai pada puncaknya, si pegawai mengajaknya bercumbu. Namun, lagi-lagi hal tersebut tak direspons oleh MRA. Pesan itu hanya berakhir di situ. Tak ada kelanjutan.
MRA mulanya bertekad memendam aksi cabul si pegawai. Namun ia kuatir hal serupa menimpa mahasiswi lain.
"Agar dia (pelaku) tidak lagi melakukan hal ini kepada orang lain, kasihan kan," imbuhnya.
MRA sejatinya ingin melaporkan persoalan ini, namun ia bingung hendak melaporkannya ke mana.
Rasa takut juga menghantui gadis yang kini berusia 21 tahun itu. Takut tak dipercaya, atau bahkan disalahkan balik.
"Dan yang saya takutkan lagi, karena dia tugasnya di kemahasiswaan takut alamat lengkap saya ketahuan dan nantinya dicari," ujarnya.
Jangankan melapor ke rektorat. Bercerita ke keluarganya pun MRA tak mau.
"Takut kalau orang tua kepikiran," tambah MRA.
Setelah dukungan untuk melapor ke petinggi kampus mulai mengalir, MRA berencana melapor.
Dihubungi media ini, wakil rektor bidang kemahasiswaan kampus tersebut berkelit mengenai keluhan MRA. Ia bahkan mempertanyakan kevalidan sumber informasi media ini.
"Nah info dari mana. Kd (tidak) pernah ada dari kemahasiswaan yang melakukan pelecehan seksual secara verbal. Baru dengar ini nah," ujarnya, saat dikonfirmasi lewat pesan singkat Whatsapp. Konfirmasi media ini hanya sebatas pesan singkat mengingat ia enggan untuk ditelepon karena mengaku sedang banyak tamu.
"Kenapa kd (tidak) lapor polisi az (saja) disuruh korbannya," pungkasnya.
Catcalling adalah sebuah tindakan pelecehan yang terkadang menyerupai pujian. Lantas bisakah dipidana pelakunya?
Direktur Borneo Law Firm, Muhammad Pazri bilang bisa saja. “Asalkan si penerima perbuatan tidak menerima,” ujarnya.
Istilah cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan. Termasuk mendistribusikan konten yang mengandung muatan asusila.
“Perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya,” jelasnya.
Lantas, bagaimana jika praktik asusila dilancarkan melalui media sosial? Jika pesan kesusilaan melalui SMS atau WA, pengirim bisa dituduhkan dengan dugaan Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
“Dan oknum tersebut bisa diduga dengan ketentuan perbuatan cabul yang sudah diatur dalamPasal 289sampai dengan Pasal 296 KUHP,” sambung magister ilmu hukum, Universitas Lambung Mangkurat ini.
Lebih jauh, mereka yang dengan sengaja menyebarkan atau mendistribusikan muatan pelanggaran kesusilaan dapat dikenakan Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Ancaman pidana maksimal enam tahun penjara hingga denda Rp1 miliar.
Namun kembali lagi, Pazri menjelaskan unsur penting dari pelecehan seksual adalahadanyaketidakinginan atau penolakan dari korban.
“Apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun,bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut, maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual,” jelasnya.
Lebih jauh, Pazri memandang aksi catcalling perlu direspons serius karena berpotensi mencoreng institusi pendidikan.
"Rektorat harus bersikap dan lakukan investigasi karena jangan sampai terulang serta ada korban. Kasihan para mahasiswa, yang harusnya belajar dan menuntut ilmu tapi jadi korban," ujarnya.