bakabar.com, JAKARTA – Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) menduga Djoko Tjandra masuk Indonesia via pintu Kalimantan (Pos Entikong) dari Kuala Lumpur (Malaysia). Bukan Papua Nugini.
Djoko Tjandra buronan kelas wahid aparat penegak hukum Indonesia. Ia terlibat kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengatakan Djoko Tjandra mendapat surat jalan dari satu instansi untuk bepergian di Indonesia.
Dalam surat jalan tersebut, Djoko Soegiarto Tjandra tertulis sebagai konsultan. Djoko disebut melakukan perjalanan dari Jakarta ke Pontianak pada 19 Juni 2020 dan kembali pada 22 Juni 2020. Angkutan yang dipakai adalah pesawat.
“Foto tersebut belum dapat dipastikan asli atau palsu, namun kami dapat memastikan sumbernya adalah kredibel dan dapat dipercaya serta kami berani mempertanggungjawabkan alurnya,” ujar Boyamin lewat siaran pers, Senin (13/7) pagi, dikutip dari CNNIndonesia.
Dalam surat jalan itu, lanjut Boyamin, terdapat KOP surat salah satu instansi, nomor surat jalan hingga pejabat yang menandatangani surat serta terdapat bubuhan stempel.
“Namun, untuk asas praduga tidak bersalah dan mencegah fitnah, maka kami sengaja menutupnya,” ucapnya.
Jika mengacu kepada foto surat jalan tersebut, kata Boyamin, maka hampir dapat dipastikan Djoko Tjandra masuk Indonesia melalui Pos Entikong di Kalimantan Barat, dari Kuala Lumpur (Malaysia). Bukan Papua Nugini.
Entikong sendiri memiliki jalur perbatasan darat dengan negara Malaysia khususnya Sarawak.
MAKI akan menjadikan temuan tersebut sebagai data tambahan terhadap pelaporan sengkarut perkara Djoko Tjandra yang telah diadukan ke Ombudsman RI.
“Untuk memastikan kebenaran surat jalan tersebut, kami akan mengadukannya kepada Ombudsman RI guna data tambahan sengkarut perkara Joko Tjandra selama berada di Indonesia mulai tanggal 12 Mei 2020 hingga 27 Juni 2020,” kata Boyamin.
“Yang mana Joko Tjandra telah mendapat KTP-elektronik, mendapat paspor baru, mengajukan PK [Peninjauan Kembali] di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, mendapat status bebas dan tidak dicekal, serta bisa masuk keluar Indonesia tanpa terdeteksi,” tambahnya.
Diketahui, Djoko Tjandra pertama kali dicegah bepergian ke luar negeri pada 24 April 2008.
Kemudian, red notice dari Interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra terbit pada 10 Juli 2009. Pada 29 Maret 2012 terdapat permintaan pencegahan ke luar negeri dari Kejaksaan Agung RI berlaku selama 6 bulan.
Pada pada 12 Februari 2015 terdapat permintaan DPO dari Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia terhadap Joko Soegiarto Tjandra.
Ditjen Imigrasi lalu menerbitkan surat perihal DPO kepada seluruh kantor imigrasi ditembuskan kepada Sekretaris NCB Interpol dan Kementerian Luar Negeri.
Pada 5 Mei 2020, terdapat pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa ‘red notice’ atas nama Joko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak 2014, karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung RI.
Ditjen Imigrasi menindaklanjuti hal tersebut dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020.
Pada 27 Juni 2020, terdapat permintaan DPO dari Kejaksaan Agung RI, sehingga nama yang bersangkutan dimasukkan dalam sistem perlintasan dengan status DPO.
Akan tetapi, MAKI menduga Djoko Tjandra sudah berada di Indonesia sejak Mei 2020.
Djoko pun sempat membuat E-KTP dan mengajukan permohonan PK ke Pengadilan Negeri Jaksel pada 8 Juni.
Setelah itu, tidak diketahui lagi keberadaan Djoko. Pengacara mengatakan Djoko tengah berada di Kuala Lumpur, Malaysia untuk menjalani pengobatan karena sakit yang dialaminya.
Editor: Fariz Fadhillah