bakabar.com, MARTAPURA –Innalilahi wa Inna ilaihi raji’un, istri pertama KH Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Abah Guru Sekumpul tutup usia.
Almarhumah Hj Juwairiyah binti Sulaiman dikabarkan wafat di Rumah Sakit Kota Citra Graha.
Kabar tersebut santer di media sosial, Senin (2/8) malam sekitar pukul 21.30.
Mengenang Abah Guru Sekumpul (12), Seorang Habib Diberi Isyarat Tentang Rencana Pernikahan Beliau
Dikonfirmasi salah satu tokoh di Sekumpul Martapura, H Ahmad Fauzan Asniah membenarkan bahwa istri Abah Guru Sekumpul wafat.
“Iya benar, baru saja. Ini saya mau ke sana,” ucapnya kepada bakabar.com.
Kondisi almarhumah belakangan memang menurun. Namun ia tidak bisa memastikan penyakit apa yang diderita.
Kisah Pernikahan
Istri Abah Guru Sekumpul Wafat, Begini Suasana Depan Kompleks Ar-Raudhah Sekumpul
PADA 1975, saat Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani berumur 33 tahun. Ia bermaksud melangsungkan pernikahan. Sebelum memberitahukannya pada kerabat dan guru untuk meminta restu, seorang habib datang ke rumah beliau, mengungkapkan isyarat yang sejalan dengan itu.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya:
Abah Guru Sekumpul sebagaimana diceritakan KH Ansyari El Karim dalam “Figur Karismatik Ulama Abah Guru Sekumpul” mengisahkan perjalanan sebelum pernikahan beliau yang pertama.
Saat itu, beliau ingin bertukar pendapat dengan Sang Paman, Syekh Seman Mulya. Namun, keinginan itu diurungkan mengingat Guru Seman saat itu juga belum kawin. Bahkan pada waktu itu beliau dikenal dengan julukan, “Guru Seman Bujang.”
Di saat “kebingungan” itu, seorang Habib bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Di dalam mimpi itu Rasul mengatakan pada habib tersebut; “(yang maksudnya) itu Zaini, dia mau kawin, dia rajin baca maulidku, memuji aku, mengajarkan ilmuku, bantu dia, dan kamu harus turun tangan.”
Bangun dari tidurnya, Habib itu pun bergegas menuju rumah Abah Guru dan membicarakan isyarat pernikahan itu pada keluarga Abah Guru (orang tua beliau).
(Ketika menceritakan pada KH Ansyari, Abah Guru merahasiakan nama Habib tersebut).
Kedua orang tua beliau tidak berani mengambil keputusan jika tidak ada izin dari Guru Seman. Maka, mereka pun kemudian bermusyawarah dengan Guru Seman.
Oleh Guru Seman, disarankan Abah Guru untuk meminta izin Syekh Muhammad Syarwani Abdan (Guru Bangil).
Mendengar maksud baik itu, Guru Bangil pun setuju. Namun, beliau menyarankan Abah Guru untuk bertamu ke kediaman KH Abdul Hamid (Kiai Hamid) di Pasuruan, untuk meminta izin dan doa restu.
Mengenang Abah Guru Sekumpul (6), “Kebaikan” yang Dinilai Tak tepat oleh Sang Ayah
Malam sebenarnya telah larut (sekitar pukul 4 dini hari), namun Guru Bangil menyarankan Abah Guru berangkat malam itu juga.
Beliau pun langsung berangkat ke Pasuruan saat itu juga, dan sampai di sana menjelang salat subuh. Abah Guru pun kemudian salat subuh berjemaah di Masjid Agung Al Anwar Pasuruan.
Setelah salat subuh, Abah Guru pun menuju ke kediaman Kiai Hamid. Di sana, Kiai Hamid sedang memimpin pembacaan Burdah yang rutin digelar di Jumat pagi. Abah Guru pun mengikuti pembacaan burdah itu hingga selesai.
Setelah selesai, Kiai Hamid langsung meminta Abah Guru mendekat. Kiai Hamid kemudian membacakan ayat Alquran, yang dipahami Abah Guru sebagai isyarat izin dan restu untuk melangsungkan pernikahan.
Mendapat isyarat itu, Abah Guru kembali ke Bangil untuk menyampaikan hasil pertemuan beliau dengan Kiai Hamid.
Sepulang dari meminta izin pada Guru Bangil dan Kiai Hamid, Abah Guru kemudian kembali menyerahkan sepenuhnya pilihan mempelai wanita kepada Ibunda (Hj) Masliyah dan Adinda (Hj) Siti Rahmah. Akhirnya diputuskan, (Hj) Juwairiyah binti H Sulaiman, seorang warga di Pasayangan Martapura menjadi mempelai wanitanya.
Pernikahan pun dilangsungkan, Abah Guru turun dari kediaman ayah angkat beliau, Habib Zein Al Habsyi dengan digandeng ulama kenamaan Tuan Guru H Muhammad Badruddin (Guru Ibad) dan Guru Seman Mulya.
Mengenang Abah Guru Sekumpul (4), Mengumpul “Dua Mutiara dari Tanah Banjar”