aphabar.com, JAKARTA- Pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang dikhawatirkan mengganggu sektor bisnis perhotelan.
Dalam KUHP ini, terdapat pasal yang mengatur soal perzinahan.
Yang menjadi sorotan adalah pasal 412, di mana pasangan kumpul kebo bisa dipidana selama 6 bulan.
Sementara di pasal 411, orang yang berhubungan intim dengan bukan suami atau istrinya bisa dipenjara maksimal satu tahun.
Keduanya memang masuk ke dalam delik aduan, atau baru berlaku jika ada yang melaporkan.
Tetapi Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menyebut hal tersebut tetap akan mengganggu sektor pariwisata Indonesia.
"Delik aduan jangan disederhanakan. Potensi lapor melapor sebelumnya kan udah ada, nah sekarang pidana. Kekhawatiran saya, nanti razia-merazia ujungnya," kata Maulana dikutip dari detikcom, Senin (12/12).
Menurutnya razia memang menjadi tantangan bagi para pelaku bisnis hotel.
"Hotel itu memiliki confidential (menjaga kerahasiaan) terhadap tamu, iya. Tapi hotel tidak bisa menutupi saat penegakan hukum terjadi," ungkap Maulana.
Saat ini, Maulana mengakui belum ada dampak yang dirasakan perhotelan.
KUHP sendiri memang baru berlaku di 2025.
"Tapi dengan pressure dari berbagai narasi yang dibangun negara-negara lain terhadap indonesia, ini akan mengganggu sektor pariwisata," ucap Maulana.
Ia berharap sektor perhotelan tidak terkena banyak dampak negatif.
Apalagi sektor ini belum pulih sepenuhnya dari hantaman pandemi COVID-19 dan kenaikan harga komoditas.
Memang sudah ada kenaikan okupansi atau keterisian hotel.
Namun menurut Maulana, salah satu pendapatan terbesar hotel justri didapat dari penjualan makanan dan minuman.
Ia menilai adanya KUHP ini berpotensi mengganggu pemulihan sektor perhotelan setelah diterpa pandemi COVID-19.
"Secara umum pasti (mengganggu pemulihan). Kalau masalah dampak terhadap KUHP baru diketok palu DPR, tidak hanya satu sektor. Semua sektor pariwisata berpengaruh, bukan hotelnya saja," papar Maulana.