Banjarmasin Hits

Bapenda Tabalong-Adaro Bahas Pajak: Polemik BPHTB–PBB Dinilai Tuntas

Pemerintah Kabupaten Tabalong melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) setempat mengundang Tim PT Adaro Indonesia terkait pembahasan kewajiban perpajakan.

Featured-Image
Bapenda Tabalong duduk bersama Tim PT Adaro Indonesia membahas BPHTB dan perpajakan hingga DBH. Foto - Dispenda Tabalong

bakabar.com, TANJUNG - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabalong melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) mengundang perwakilan PT Adaro Indonesia untuk membahas kewajiban perpajakan perusahaan, Senin (24/11).

Pertemuan ini merupakan tindak lanjut rapat kerja Komisi II DPRD Tabalong bersama Bapenda, KPP Pratama Tanjung, dan Kanwil DJP Kalselteng pada Rabu (22/10), di mana Adaro sebelumnya disebut belum pernah membayar BPHTB.

Dalam pertemuan Bapenda dan Adaro, empat isu dibahas: BPHTB, PBB, status jalan hauling, serta Dana Bagi Hasil (DBH) PIT Tutupan antara Tabalong-Balangan.

Kepala Bapenda Tabalong, Nanang Mulkani, menjelaskan Adaro merujuk regulasi lama yang masih berlaku dan mengatur bahwa kewajiban BPHTB muncul saat terjadi peralihan hak yang disertai balik nama.

“Adaro saat melakukan peralihan hak tidak pernah melakukan balik nama karena tanah itu bukan menjadi hak milik perusahaan. Jadi hanya berhenti pada peralihan hak. Karena itu tidak timbul kewajiban BPHTB,” kata Nanang, Selasa (25/11).

Dampaknya, data PBB atas lahan-lahan tersebut masih tercatat atas nama pemilik awal. Adaro telah menyiapkan data puluhan bidang yang tidak lagi diakui pemilik lama untuk disinkronkan pada pertemuan berikutnya.

Untuk PBB, Adaro memanfaatkan 1.985 hektare lahan operasional di Tabalong. Menurut perusahaan, seluruhnya masuk kategori PBB-P5L (kewenangan pusat) dan sudah dibayarkan.

Bapenda meminta Adaro memastikan alas hak yang jelas. “Kalau tidak masuk P5, wajib masuk PBB-P2. Kalau masuk P5 kami tidak bisa apa-apa karena dasar hukumnya penunjang tambang,” tegas Nanang.

Nanang juga mengungkap polemik lama soal status jalan hauling. Pernah ada paparan yang menyebut jalan hauling bisa dikenakan PBB-P2 bila tidak terhubung langsung ke kegiatan tambang.

Namun, Adaro kembali menunjukkan regulasi bahwa jalan hauling mereka terhubung langsung, sehingga PBB dibayarkan ke pusat.

Terkait DBH, Nanang menyebut pembagian saat ini berada di angka 24 persen untuk Tabalong dan 76 persen untuk Balangan hingga Desember 2025.

Ia menilai pembagian itu tidak mempertimbangkan sejarah wilayah PIT Tutupan. “Dulu PIT Tutupan sebagian besar berada di Tabalong. Setelah tambang masuk baru disepakati 50-50 dengan HSU sebelum Balangan dimekarkan,” ujarnya.

Menurut Nanang, posisi garis batas yang membelah PIT Tutupan jadi penyebab rumitnya penetapan lokasi produksi. Adaro sendiri menyatakan hanya menyerahkan data produksi ke pusat, dan pemerintah pusat yang menentukan pembagian DBH.

Terpisah, Kepala Divisi External Relations PT Adaro Indonesia, Rinaldo Kurniawan, memastikan pertemuan dengan Bapenda Tabalong telah menyelesaikan polemik soal PBB-P2 dan BPHTB.

“Setelah duduk bersama, semuanya selesai. Kami jelaskan regulasi yang harus kami patuhi, dan kedua pihak sudah satu pemahaman,” kata Rinaldo.

Ia menyebut Adaro sudah membayar PBB sesuai ketentuan, yaitu PBB-P5L, yang memang mengatur sektor pertambangan.

“Kalau kami bayar PBB-P2 justru menyalahi aturan. Adaro dan pemda bisa sama-sama salah,” tegasnya.

Untuk BPHTB, ia menegaskan pemegang IUP/IUPK eksplorasi tidak diwajibkan melakukan proses balik nama atas lahan yang telah dikompensasi, sehingga tidak memunculkan kewajiban BPHTB.

“Ketentuan regulasi itu yang menjadi dasar perusahaan tidak pernah melakukan proses BPHTB,” ujarnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner