bakabar.com, BANJARMASIN – Kontroversi pemindahan ibu kota Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjarbaru terus menggelinding. Habib Abdurrahman Bahasyim meminta warga yang tak setuju menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Yang tidak setuju silakan gugat, karena prosesnya memang ada yang janggal,” ujar Habib Banua, sapaan akrab senator DPD RI itu kepada bakabar.com, Rabu (23/2) malam.
Pemindahan ibu kota Kalsel termaktub dalam Rancangan UU Provinsi yang disahkan DPR, 15 Februari lalu. Sejak diusulkan, dibahas, hingga diputuskan, beleid itu dinilai minim partisipasi publik.
Peran serta DPD lantas ikut dipertanyakan dalam RUU daerah yang kini telah disetujui pemerintah pusat, mengapa bisa sampai masyarakat maupun pemerintah daerah tak dilibatkan.
Serupa dengan Ibnu Sina, Habib Banua menegaskan para senator di Senayan tak tahu menahu. Selain minim pelibatan, juga superkilat.
“RUU yang dibahas bersama DPD hanya mengenai landasan hukum, bukan isi draf RUU,” ujarnya.
1 September 2021, Komisi II DPR RI mengusulkan RUU Provinsi Kalsel masuk program legislasi nasional lima tahunan. 7 Oktober 2021, RUU dibawa ke rapat paripurna dengan mengumpulkan pendapat fraksi-fraksi DPR RI.
“Inikan inisiatif DPR,” sambung Habib Banua.
UU Provinsi yang disahkan DPR, tidak hanya mengatur Kalsel, melainkan juga Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.
Belied baru tersebut menggantikan UU Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Provinsi Kalbar, Kalsel dan Kaltim yang lahir berdasar konstitusi Republik Indonesia Serikat. Pasal 4 UU baru itu menyebut kedudukan ibu kota Kalsel di Kota Banjarbaru bukan lagi Banjarmasin.
Kejanggalan terlihat saat rapat tripartit Pemerintah, DPR-RI dan DPD- RI, 7 Februari. Di mana agendanya berisi penjelasan awal, sekaligus pembentukan panitia kerja. .
"Yang mewakili DPD hanya pimpinan. Ahmad Bastian dari Lampung, Fahrurozi dari Aceh, Filex dari Papua Barat. Dari Kalsel nggak ada," beber Habib Banua.
8 Februari dilakukan pembahasan RUU. Namun Habib heran pembahasan dengan para senator hanya seputar draf landasan hukumnya saja.
Habib pun mengkritisi soal rapat superkilat tersebut. Menurutnya undang-undang penentuan nasib Kalsel ke depan mestinya bisa digodok dengan matang. Tidak cukup hanya hitungan hari.
"Kalau cuma melihat tiga hari lucu. Sangat tidak layak. Selain itu kalau melihat rujukan MK seharusnya DPR itu taat hukum. Melibatkan DPD dalam urusan legislasi," imbuhnya.
Ibnu Sina, Wali Kota Banjarmasin, berencana menggugat UU Provinsi ke MK karena prosesnya sarat kejanggalan. Wali kota dua periode ini merasa tak pernah dilibatkan.
“Warga Banjarmasin ada keinginan kuat untuk melakukan judicial review,” ujar Ibnu kepada bakabar.com.
“Kita lihat apakah nanti Pemkot sendiri. Atau bersama kabupaten kota lain melakukan upaya hukum,” sambungnya.
Rencana memindahkan ibu kota Kalsel, kata dia, sejak lama tidak nyaring terdengar. Yang ia tahu hanya pemindahan terhadap pusat pemerintahan saja. Pun, saat ia masih menduduki jabatan ketua Komisi 1 di DPRD Kalsel.
“Isu pemindahan Ibu Kota itu memang ada sejak tahun 50. Tapi kan akhirnya kita sepakat Ibu Kota tetap di Banjarmasin,” tegasnya.
Terpisah, Praktisi Hukum Kalsel, Muhammad Pazri sepakat keberadaan UU Nomor 25/1956 junto UU Nomor 21/1958 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 10/1957, menjadi dasar pembentukan Daerah Swantara (Provinsi) Tingkat I Kalimantan Selatan, harus direvisi.
Secara historis, Provinsi Kalsel berdiri pada 1 Januari 1957 dengan dasar UU Nomor 25/1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Sebelumnya, tiga provinsi menjadi satu di bawah satu Provinsi Kalimantan, hingga pada 23 Mei 1957. Provinsi Kalimantan Selatan pun dipecah menjadi provinsi sendiri dengan dasar terbitnya UU Darurat Nomor 10/1957 tentang Pembentukan Daerah Swantara Provinsi Kalteng.
Sebab, secara yuridis, dasar pembentukan Provinsi Kalsel dinilai telah kedaluwarsa (out of date), karena dibentuk menggunakan UUDS Tahun 1950, sehingga muatannya dianggap tak sesuai dengan perkembangan ketatanegara terkini.
Namun setelah mencermati dan membaca UU Provinsi Kalsel yang baru, Pazri melihat beleid itu tidak mengakomodir landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis.
“Termasuk mengenai kebutuhan Kalsel sendiri, sangat tidak lengkap serta ke depan akan menimbulkan ketidak pastian hukum,” ujar doktor jebolan Universitas Sultan Agung ini.
Pazri menyimpulkan UU Provinsi Kalsel yang baru disahkan harus dikaji lebih mendalam, termasuk uji publik secara maksimal.
“Karena saya menganggap rentan UU Kalsel tersebut digugat ke MK, diuji dengan ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22D ayat (2) UUD 1945,” ujarnya.