Opini

Baju Merah, Batsound dan Ketidakpuasan Artistik

Pada proses produksi Baju Merah yang memakan waktu dua tahun, Ari Tirta Dinata, vokalis Senja Djingga juga merasakan hal yang kurang lebih sama.

Featured-Image
Senja Djingga merilis single Baju Merah pada 26 November 2023. Foto-Senja Djingga Official

Oleh Puja Mandela

"I can't get no, satisfaction," kata Mick Jagger dalam lagunya yang abadi. 

Meskipun lagu yang dirilis The Rolling Stones pada 1965 itu secara eksplisit mengarah pada gairah seksualitas, tetapi jika dimaknai secara umum dan dikorelasikan pada sebuah karya seni, rasa tidak puas itu akan selalu kita jumpai di manapun dan kapan pun sepanjang hidup kita. 

Ahmad Dhani menyebut lagu Kangen versi awal yang dirilis pada 1992 adalah lagu yang buruk secara produksi. Begitu pun dengan Separuh Nafas yang dirilis di album Bintang Lima (2000). Meski demikian, kedua lagu itu bisa disebut sebagai kegagalan yang menguntungkan.

Tak hanya Ahmad Dhani, musisi kelas dunia pun mengalami hal yang sama. Noel Gallagher begitu membenci album tercepat yang pernah dijual Oasis; Be Here Now. Tom Yorke menyebut lirik Creep sangat jelek. Puluhan tahun sebelumnya, John Lennon mengaku tak menyukai karakter vokalnya di Across the Universe.

Pada 26 November 2023, Senja Djingga, band asal Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, merilis lagu berjudul Baju Merah. Ini merupakan single perdana mereka setelah berdiri sejak akhir 2015 sekaligus menandai debut mereka di industri musik.

Pada proses produksinya, vokalis Senja Djingga, Arie Tirta Dinata, juga merasakan perasaan yang kurang lebih sama dengan para legenda musik di atas. Meski ketidakpuasan yang dimaksud bukan soal produksi secara keseluruhan, tetapi menurut Arie, ada bagian-bagian vokal pada lagu tersebut yang membuatnya 'tak nyenyak tidur'. 

Dalam launching yang berlangsung di pelatar Lyeon Photography, Arie mengungkapkan beberapa part di dalam lagu tersebut yang tidak memuaskan dirinya. 

"Ada di bagian 'Bayangan dirimu/merasukiku'," ucap Arie. 

Kemudian di bagian, "Hari-hari ku terus berlalu". Itu seperti bukan saya," tambahnya.

Baca Juga: Tuah Tanah Borneo, Saat Primitive Monkey Noose Menggunakan Lebih Banyak Energi dan Pikiran

Baca Juga: Mendengarkan Album 'Waja Sampai Kaputing', Punk Borneo yang Mewah dan Sarkastis

Dia merasa di bagian itu dia tidak menjadi dirinya sendiri. Ya, barang kali karena sejatinya Arie adalah vokalis yang memiliki attitude rock. Dia punya kemampuan untuk bernyanyi dengan tingkat maskulinitas di atas rata-rata. Namun di lagu Baju Merah, karakter vokalnya memang terdengar agak unyu-unyu, kalau tak mau disebut menye-menye.

Akan tetapi, keresahan Arie adalah hal yang wajar dan manusiawi. Sesuatu yang umum dijumpai di sepanjang sejarah musik populer layaknya yang dialami Ahmad Dhani, Noel Gallagher, Tom Yorke dan John Lennon. Saya menyebutnya ketidakpuasan yang artistik.

Senja Djingga terbentuk di Batulicin pada akhir 2015 silam. Foto-Senja Djingga Official
Senja Djingga terbentuk di Batulicin pada akhir 2015 silam. Foto-Senja Djingga Official

Di luar dari keresahan itu, single Baju Merah justru menjadi penanda bahwa 2023 adalah era paling kreatif bagi musisi Tanah Bumbu sejak kabupaten ini berdiri. Sebelum Senja Djingga merilis single, tahun ini skena musik Tanah Bumbu sudah cukup riuh dengan kehadiran Primitive Monkey Noose, Reunion, dan No Counter. 

Baju Merah juga menjadi satu dari sedikit lagu yang diproduksi dengan sangat serius oleh musisi Tanah Bumbu. Dari produksi lagu, musik video yang mahal, hingga acara launching yang melibatkan banyak pihak. Hasilnya? Tidak mengecewakan. 

Batsound

Hal lain yang tersorot saat lagu ini dirilis adalah karakteristik musiknya. Baju Merah mengingatkan pada beberapa lagu dari band asal Tanah Bumbu yang dirilis beberapa tahun sebelumnya; Pergilah (Revife),Logika (Uniqly), atau Imajinasi Pagi (Reunion). Timbre vokal, penulisan lirik, hingga grafik musik dari intro hingga outro yang cenderung identik. Belum lagi ditambah sahutan gitar ala Jonny Buckland yang tak pernah ketinggalan. 

Karena punya karakter musikal yang nyaris serupa, sebagian pendengar bisa saja terkecoh dan mengira lagu-lagu tersebut dimainkan oleh kelompok musik yang sama. Setidaknya hal itu yang menjadi sorotan saya dan... ya, Richie Petroza, si vokalis Primitive Monkey Noose. Tapi di sisi lain, kita jadi maklum saat mengetahui ada nama Prima Yudha Prawira dalam proses penggarapannya.

Baca Juga: Senja Djingga Rilis Single 'Baju Merah', Penantian Panjang Selama 8 Tahun

Baca Juga: Pengamat Musik Kalsel Komentari Single Perdana Senja Djingga

Baca Juga: Multitafsir 'Imajinasi Pagi'

Gobe, sapaan akrabnya, nampaknya sudah punya formula paten untuk mengaransemen musik dengan genre seperti ini. Aransemen musik yang padat dan modern menjadi ciri khasnya. Sebenarnya Gobe bisa saja membuat suasana lain, seperti saat dia menggarap Primitive Monkey Noose dengan suara panting dan sound drumm yang lebih mentah. Tapi tentu saja ini sudah menjadi pilihan dan seleranya. Sebut saja ini Batsound: suara dari Batulicin!   

Patut ditunggu bagaimana kreativitas, inovasi, dan kejutan-kejutan band ini berikutnya. Sebab tentu saja kita tak bisa buru-buru menilai Senja Djingga hanya lewat satu karya saja. Dan setelah ini, Ari Tirta Dinata, Anfar Febri Nugraha, Vandy Ahmad, Erwin Sebastian, dan Aldy Rizaldi, sudah tak perlu lagi merendahkan diri mereka dengan mengikuti lomba di panggung festivalan, memamerkan skill di depan juri, atau mengangkat trofi yang biasa-biasa saja itu.

***

Penulis adalah redaktur bakabar.com

Editor


Komentar
Banner
Banner