apahabar, JAKARTA - Rayakan 16 hari aktivisme melawan kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender, Feminist Knowledge Production and Circulation gelar diskusi daring pada Minggu (4/12). Diskusi yang menghadirkan transpuan dari pelbagai latar belakang ini dihadiri oleh ratusan peserta dari seluruh Indonesia.
Agenda yang mengetengahkan isu mengenai kesetaraan ini pun dipimpin oleh Irmia Fitriyah, Antropolog Feminis, dan diskusi diawali dengan menyoal problematika yang dihadapi transpuan.
'Panggil Namaku Saja'
Jessica Ayudya Lesmana, seorang seniman transpuan, menceritakan perasaannya ketika menghadapi tatapan khalayak di ruang publik. "Suatu saat aku pernah jalan-jalan sama teman cowok, kita nongkrong, kebetulan ada petugasnya lima detik ngeliatin aku dan dia langsung panggil mbak, terus diubah lagi jadi kak," tukasnya.
Menurut punggawa band Amuba ini, masih ada perbedaan signifikan dari cara sapaan mbak dan kak. Ada kesan maskulin yang masih tersisa dari penyebutan kata sapa padanya.
Ia menyadari, hal ini karena banyak masyarakat heterogen yang masih belum mengerti betul, bagaimana cara berkomunikasi dengan kelompok minoritas. "Lalu kalau kemana-mana aku kan sendirian ke kantor polisi atau ke bank, suatu hari ke kantor polisi, itu pak polisi manggilnya 'Bu' gitu, terus aku bilang maaf pak aku maunya dipanggil nama aja," imbuhnya bercerita.
"Kebanyakan mereka itu bingung kalau manggil aku salah apakah aku tersinggung, terus aku bilang loh kamu kan belum kenal aku, kenapa kamu langsung berasumsi aku tersinggung?" kata Jessica.
Kisah Lain namun Serupa
Mengalami hal serupa, Hendrika Mayora Victoria Kelan Aktivis Transpuan dari Fajar Sikka itu mengamini situasi serupa. Beberapa kali orang kerap memanggilnya dengan nama lahir, sebab tak banyak yang tahu tentang keberagaman ekspresi gender. Namun berdasarkan keterangannya, edukasi dan pendekatan terhadap masyarakat yang ia lakukan beserta kawan transpuan lain kini membuahkan hasil.
"Perlu diketahui bahwa ini bagian dari keberagaman identitas gender, tapi Puji Tuhan di sini respon masyrakat sangat positif, masyarakat bilang biarkan dia punya ekspresi seperti itu tapi dia punya kemampuan," tuturnya menyambung cerita.
Kini dirinya adalah transpuan pertama yang menjabat sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Habi, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Ia dipilih berdasarkan hasil pemilihan daerah setempat. Baginya, dukungan masyarakat terhadap dirinya tak lain ialah bukti bahwa transpuan punya kemampuan untuk memimpin daerah, dan dipercaya masyarakatnya.
"Bupati panggil saya Bunda," Kata Mayora.