bakabar.com, BANJARMASIN – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mendesak pemerintah menghentikan aktivitas produksi batu bara PT Arutmin Indonesia.
Kontrak perusahaan penghasil batu bara yang berbasis di Kalimantan Selatan itu sudah berakhir 1 November kemarin.
“Hentikan sesegera mungkin dan segera lakukan evaluasi,” ujar Dinamisator Jatam Kalimantan Timur Pradarma Rupang kepada bakabar.com, Senin (2/11) petang.
Jatam yang menjadi bagian dalam Koalisi Bersihkan Indonesia juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyurati Presiden Joko Widodo.
Kasus Arutmin, kata Rupang, serupa apa yang terjadi dengan PT Tanito Harum selaku pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara atau PKP2B lainnya.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya:
Di mana kontrak PKP2B PT Tanito Harum sempat diperpanjang Kementerian ESDM hingga akhirnya dibatalkan. Mengingat KPK bersurat kepada Presiden Joko Widodo.
“Kasus Arutmin ini serupa dengan PT Tanito Harum. PKP2B-nya telah berakhir namun sudah dilakukan perpanjangan sebelum dilakukan evaluasi tanpa pengawasan,” ujarnya.
Isi surat KPK meminta revisi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba harus mengikuti UU Nomor 4/2009 tentang Minerba.
Koalisi Bersihkan Indonesia, kata Rupang, meminta KPK melakukan tindak serupa: menyurati Presiden Jokowi agar mengevaluasi kontrak PKP2B PT Arutmin Indonesia.
Diketahui UU Nomor 4/2009 sudah direvisi menjadi UU Nomor 3/2020. UU ini beleid yang belum lama tadi disahkan DPR RI, 12 Mei silam. Pengesahannya menuai polemik serta penolakan dari masyarakat sipil.
UU Minerba yang baru dianggap Rupang memberikan karpet merah ke pengusaha tambang karena ada pasal tentang perpanjangan otomatis.
“Jadi mereka berlindung di balik pasal tersebut untuk tetap produksi,” ujar Rupang. “Ini jelas bermasalah terlebih peraturan pelaksana UU Minerba yang baru belum ada,” sambungnya.
Jatam, kata Rupang, juga meminta Arutmin membuka informasi mengenai kewajiban apa saja yang sudah diberikan perusahaan ke masyarakat di lingkar tambang.
"Kami mendesak transparansi, dan keterbukaan pada publik, terutama bagi masyarakat yang mengalami dampak buruk akibat operasi perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut," ujarnya.
September lalu, Jatam telah mendesak Kementerian ESDM membuka dokumen PKP2B milik 5 perusahaan, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Berau Coal (BC), PT Kideco Jaya Agung (KJA), dan PT Multi Harapan Utama (MHU), termasuk Arutmin.
Desakan juga mencakup daftar nama tim yang melakukan evaluasi, perkembangan evaluasi hingga instrumen evaluasi yang digunakan.
“Sampai sekarang belum ada jawaban dari ESDM,” jelasnya.
Para pemegang PKP2B itu, sebut dia, terindikasi melakukan kasus pencemaran, perampasan lahan, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
“Termasuk persoalan reklamasi dan rehabilitasi lubang tambang yang tidak dilakukan," ujarnya.
Keterbukaan informasi penting sebagai upaya mendorong kebijakan energi Indonesia yang berorientasi bersih, pro-lingkungan hidup serta menjamin keselamatan rakyat.
1 November kemarin, kontrak PT Arutmin Indonesia pemegang PKP2B generasi pertama resmi berakhir. Sementara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalimantan Selatan tak berkutik.
ESDM Kalsel tak lagi mengantongi kewenangan terkait izin pertambangan perusahaan besar sekelas PT Arutmin.
“Bantuan fasilitas izin dari ESDM Kalsel enggak ada, pusat semua. Dia statusnya dari pusat. Jadi pusat yang menentukan,” ucap Sekretaris Dinas ESDM Provinsi Kalsel, Agus Umar saat ditemui bakabar.com di ruangannya, Senin (2/11) siang.
Sehingga jika anak usaha dari PT Bumi Resources Tbk (BUMI), itu masih beroperasi tanpa izin, pihaknya pun tak dapat memberi tindakan.
“Penindakan tidak ada dari provinsi, kita tidak punya kewenangan,” tegasnya.
Sebetulnya, awal September lalu produsen batu bara yang berbasis di Kalimantan Selatan khususnya Tanah Bumbu dan Batulicin ini sudah mengajukan perpanjangan kontrak.
Namun sampai sekarang pemerintah belum memberikan kepastian akan perubahan kontrak dari PKP2B menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Pembahasan perpanjangan kontrak, dari PKP2B PT Arutmin Indonesia menjadi IUPK mesti melibatkan lintas kementerian.
Selain belum adanya kepastian IUPK, pemerintah hingga kini masih belum menerbitkan peraturan pelaksana tentang kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara dari UU Nomor 3/2020 tentang Minerba.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin, seperti dilansir CNBC Indonesia, mengatakan harmonisasi salah satu rancangan peraturan pemerintah yang tengah digodok jadi salah satu biangnya.
Namun begitu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dilaporkan akan segera menandatangani PP perlakuan perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di bidang pertambangan batu bara.
Draf final rancangan PP itu disebut sudah berada di kantor Kementerian Sekretariat Negara untuk kemudian ditandatangani oleh Presiden.
Menurutnya ada lebih dari PP terkait batu bara. Perpajakan berasal dari Kementerian Keuangan, sedangkan RPP Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara berasal dari Kementerian ESDM.
Kontrak tambang batu bara PKP2B Arutmin berakhir kemarin. Arutmin telah mengajukan perpanjangan operasional tertuang dalam Surat Presiden Direktur PT Arutmin Indonesia no.1036/AI/X/2019 tertanggal 24 Oktober 2019.
Adapun luas tambang Arutmin dilaporkan mencapai 57.107 hektare yangterbentang di tiga kabupaten Kalsel, yaitu Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru.
Izin Tambang PT Arutmin Indonesia Habis, ESDM Kalsel Tak Berkutik