bakabar.com, JAKARTA – Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan mengatakan anggaran untuk subsidi energi tahun ini dinilainya sangat besar, yakni memakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp520 triliun.
"Berdasarkan jumlah tersebut, masalahnya 23,3 persen penggunaan elpiji 3 kg itu dinikmati oleh golongan miskin, sementara sisanya 57,9 persen merupakan orang golongan mampu," ujarnya dalam media briefing Membedah Arah dan Strategi Kebijakan Ekonomi Indonesia secara daring, Senin (22/8).
Ia juga memaparkah bahwa subsidi sebaiknya diarahkan ke orang yang membutuhkan, bukan dalam bentuk barang. Ia mencontohkan subsidi BBM, sebanyak 60 persen masyarakat golongan mampu yang menikmati. Dari jumlah tersebut, hampir 80 persen dari total konsumsi BBM bersubsidi sebanyak 33,3 liter per rumah tangga per bulan. Adapun sisanya 40 persen, masyarakat golongan miskin hanya menikmati konsumsi bersubsidi sebesar 17,1 persen per rumah tangga per bulan.
"Di sini permasalahannya bukan besaran subsidinya, tapi subsidinya itu tetap penting, tinggal permasalahannya. Apakah subsidi itu diberikan untuk hal yang tepat," tegas Deni.
Lebih lanjut, Deni juga menyoroti detail perhatian pemerintah kepada sektor-sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan ketahanan pangan pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020.
"Seberapa besar masing-masing biaya pengeluaran itu dan bagaimana implementasi atau pembiayaannya itu. Kita lihat dari pengalaman pemanfaatan dana seringkali tidak diarahkan pada kebijakan intervensi yang pengelolaannya tidak efisien dan efektif atau bahkan tidak tepat sasaran," ungkapnya.
Pada sektor infrastruktur, kata Deni, pemerintah memang telah membangun banyak infrastruktur yang mendukung perekonomian, seperti jalan, pelabuhan, irigasi dan lain-lain tapi ada permasalahan yang lain juga bahwa pemerintah kurang memberi perhatian pada perawatan beberapa proyek.
Ia mencontohkan pada proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung yang bermasalah karena tidak diawali dengan sebuah perencanaan proyek dengan baik menjadi salah satu contoh ketidak efektif dan efisiennya pengelolaan proyek walaupun secara sektoral itu pengeluaran yang baik.
"Pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap keterkaitan antara outcome yang ingin dicapai dengan input atau besarnya pengeluaran belanja pada sektor tertentu akibatnya akan sulit bagi kita untuk secara baik menilai. Apakah pembiayaan atau pengeluaran pembangunan yang selama ini dilakukan itu telah mencapai hasil yang diharapkan," jelas Deni. (Resti)