bakabar.com, JAKARTA - Kalangan industri hilir sawit tanah air mengharapkan peran pemerintah menciptakan kebijakan dan dukungan terutama mengantisipasi dampak hambatan dagang di negara tujuan ekspor.
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menyatakan industri hilir sawit akan menghadapi tantangan berat baik di dalam dan luar negeri sebagai dampak resesi global dan kondisi perekonomian masyarakat.
"Saat ini masih ada hambatan dagang kepada produk hilir sawit," ujar dia saat buka puasa bersama Forum Wartawan Pertanian dengan Aprobi, Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin), dan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) di Jakarta, Selasa (28/3).
Menurut dia, Indonesia masih menunggu hasil gugatan kebijakan RED II kepada Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) yang ditangani oleh Dispute Settlement Body WTO melalui pendaftaran dengan kode WT/DS 593.
Baca Juga: Kembangkan Produk Sawit, BPDPKS Dukung Koperasi dan UKM
Proses penyelesaian sengketa DS 593 menghadapi sejumlah kendala antara lain kekosongan hakim juri/arbitrator di appellate body atau badan banding. Minimnya hakim juri ini, lanjutnya, akibat blokade penunjukkan arbitrator oleh Amerika Serikat semenjak 2017.
Sementara itu menurut Ketua Umum Apolin Rapolo Hutabarat ekspor produk oleokimia ke Uni Eropa dikenakan bea masuk anti dumping dengan kisaran 15 hingga 46 persen.
"Tarif ini sudah mulai diberlakukan pada Desember 2022 akibatnya anggota Apolin kesulitan menembus pasar Eropa," ujarnya.
Seiring pemulihan ekonomi, tambahnya, volume ekspor oleokimia mencapai 4,2 juta ton pada 2022 dengan negara tujuan utama ekspor adalah India, Tiongkok, dan Eropa.
Baca Juga: Ratusan Hewan Terpanggang Imbas Kebakaran di Duren Sawit
Tahun lalu nilai ekspor oleokimia mencapai 5,4 miliar dolar atau rerata Rp83 triliun lebih. "Ini sebuah pencapaian bersama terutama keberpihakan pemerintah yang mendukung hilirisasi di Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, ujar Rapolo, ekspor oleokimia ke Eropa pada 2022 sebesar 1 miliar dolar yang mana produk fatty acid menyumbang 330 juta dolar. Dengan hambatan tarif itu, lanjutnya, pihaknya sudah menyampaikan kepada kementerian terkait yang mana saat ini langkah paling soft interim review.
"Untuk langkah ke WTO, ini harus dikaji bersama antara pelaku usaha dengan pemerintah,” katanya.
Baca Juga: Peremajaan Sawit Rakyat, Menko Airlangga: Kita Bantu Skema Kemitraan
Terkait hal itu Ketua Umum Gimni Sahat Sinaga mengusulkan kebijakan penundaan Bea Keluar minyak sawit mentah (BK CPO) diberlakukan untuk menjaga daya saing industri sawit nasional di pasar global.
"Kalau bea keluar tetap jalan, diperkirakan ekspor sawit akan macet total. Harga tahun ini lebih rendah daripada tahun lalu. Pasar ekspor juga lesu. Makanya, ekspor butuh insentif supaya daya saing kuat di pasar global," ujarnya.