Tak Berkategori

Amankah Lingkungan Kalsel Jika Tanah Bumbu Jadi Jakarta Baru?

apahabar.com, BANJARMASIN – Pro dan kontra mengiringi rencana pemerintah pusat menjadikan Kalsel sebagai DKI Jakarta baru….

Featured-Image
Pegunungan Meratus. Foto-Muhammad Yusmi Mapala Meratus for apahabar.com

bakabar.com, BANJARMASIN – Pro dan kontra mengiringi rencana pemerintah pusat menjadikan Kalsel sebagai DKI Jakarta baru.

Sebagian masyarakat adat Dayak Meratus menyambut hangat rencana tersebut. Sebagiannya lagi, merasa was-was. Lantas, pada sisi lain, amankah lingkungan hidup di Kalsel jika Tanah Bumbu jadi Jakarta Baru?

Kepada bakabar.com, Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, Juliade mengaku terdapat kekhawatiran tersendiri akan wacana ini. Kerentanan dimaksud terjadinya pergusuran atas hak kelola masyarakat adat Meratus.

“Lahan yang diperlukan untuk ibukota kan sangat luas. Sehingga sangat rentan terhadap tergusurnya tempat tinggal masyarakat adat Dayak Meratus,” ucap Juliade.

Seperti diketahui, Kalsel lewat pemerintah provinsi menyatakan kesiapannya menjadi calon ibukota baru. Lahan tak kurang dari 300.000 hektare disiapkan untuk menarik minat pemerintah pusat.

Baca Juga: Hari Bumi 2019, Pencinta Alam Kalsel Tegaskan Sikap Save Meratus!

Masyarakat adat, kata Juliade, justru khawatir pemindahan itu akan berdampak terhadap tergusurnya budaya masyarakat Dayak Meratus. Bukan hanya itu, menjadikan Kalsel sebagai ibu kota tentu mengancam eksistensi masyarakat adat yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka.

Terlebih, sampai kini, keberadaan mereka tak kunjung diakui negara. Sejumlah organisasi lingkungan hidup di Kalsel, seperti Aliansi Masyarakat Adat (Aman), Walhi, juga LPMA Borneo Selatan mendorong pengakuan masyarakat hokum adat sebagai syarat pengakuan hutan adat di pegunungan Meratus.

Dalam kondisi demikian, Juliade pesimistis masyarakat adat Meratus mampu bersaing dengan masyarakat pendatang. Sehingga, ditakutkan secara budaya akan tergeser. Bahkan, bisa punah di tengah persaingan.

Sebagai tokoh masyarakat adat, ia merasa gamang. Apakah menerima atau menolak rencana pemindahan ibukota ke tanah Banua. Terpenting saat ini, sambung dia, pemerintah mengakui hak kelola masyarakat adat terlebih dahulu.

“Bagi kami akui hak kelola masyarakat adat terlebih dahulu. Bukan pemindahan ibukota,” tegasnya.

Sementara itu, tokoh pemuda masyarakat adat Kalsel, Palmi Jaya mengatakan, pemindahan ibu kota mesti memperhatikan analisis masalah dampak lingkungan (Amdal) terlebih dahulu. Sehingga, tidak merugikan masyarakat adat Dayak Meratus.

Mesti ada komitmen kuat dari pemerintah pusat untuk membina dan melestarikan budaya masyarakat adat Meratus.

“Kami sangat mendukung pemindahan ibu kota ke Kalsel,” ujarnya.

Menyikapi kekhawatiran masyarakat mengenai dampak negatif terhadap lingkungan, Kabid Pelayanan Jasa dan Laboratorium Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Akhmad R. Saidi yakin pemerintah tak akan sembarangan membangun ibukota baru. Pasti ada kajian yang memperhatikan ekosistem Meratus.

“Tanah bumbu memungkinkan untuk menjadi ibukota negara, dan pemerintah tidak mungkin sembarangan melakukan pembangunan pasti ada kajian Amdal,” ujarnya saat ditemui di ruang Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian ULM, Selasa (7/5) siang.

Selain itu, dia mengungkapkan dalam pembangunan segala infrastruktur ibukota pemerintah mengambil jalan terbaik untuk meminimalkan pengaruhnya terhadap lingkungan.

“Pemerintah pasti akan mempertimbangkan hasil dari kajian AMDAL. Karena banyak aspek di dalamnya yang harus diperhatikan,” singkatnya.

Belum lama ini, Gubernur Kalsel Sahbirin Noor bersama tiga kepala daerah lain bertandang ke Kantor Staf Presiden. Mereka berdiskusi mengenai rencana pemindahan ibukota negara.

Baca Juga: Hardiknas 2019, Potret Buram Pendidikan di Meratus

Dalam kesempatan itu, Birin menawarkan pembangunan infrastruktur dan keindahan alam pegunungan Meratus ke pemerintah pusat yang dihadiri langsung oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro.

Pemprov Kalsel mengklaim, lahan 300 ribu hektar yang diusulkan telah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kalsel Tahun 2015-2035. Artinya, pembangunan nantinya tak mengganggu kawasan lain. Seperti kawasan hutan dan pertanian masyarakat.

Reporter: Muhammad Robby/AHC06
Editor: Fariz Fadhillah



Komentar
Banner
Banner