bakabar.com, JAKARTA - Kasus penganiayaan di Pesanggrahan, Jakarta Selatan pada Senin (20/2) lalu masih menjadi sorotan. Tidak hanya sang pelaku, Mario Dandy, yang menuai cibiran, kekasihnya, AG, pun demikian.
Terlebih lagi, kini Agnes disebut-sebut mengidap princess syndrome alias sindrom tuan putri. Dugaan yang demikian bermula ketika salah seorang warganet di Facebook, Alto L, menulis unggahan bertajuk Princess Syndrome sang manipulator!
“Ada seorang anak perempuan, usia 15 tahun, diputusin pacarnya yang baru berpacaran selama sebulan karena ketahuan nginap berdua dengan cowok lain. Anak ini tidak terima karena selama ini hanya dia yang mutusin pacar-pacar dia. Dia tidak boleh diputusin. Dia merasa tersinggung. Ego dia sebagai "Tuan Putri" itu jatuh,” tulisnya.
Sang pengunggah memang tidak menyebut secara gamblang bahwa yang dia maksud dalam tulisannya itu adalah Agnes. Sayang, tulisan tersebut kadung dimaknai merujuk pada kekasih Dandy.
Simpang siur soal princess syndrome pun menyebar ke platform media sosial lain, sebut saja Twitter. Unggahan salah seorang warganet, bahkan, menyebut sindrom itu sebagai gambaran remaja perempuan yang memanipulasi pacarnya untuk memukuli mantan kekasihnya.
Benarkah definisi yang demikian adalah makna sebenarnya dari princess syndrome? Merangkum berbagai sumber, berikut serba-serbi mengenai sindrom tuan putri yang diduga dialami Agnes:
Ingin Diperlakukan bak Putri di Negeri Dongeng
Penulis sekaligus psikolog klinis di California Southern University, Nancy Irwin, mendefinisikan princess syndrome sebagai gambaran bagi perempuan yang bersikap dan berperilaku seperti tuan putri, dewi, atau sosok penting lainnya.
Sesuai namanya, istilah princess syndrome diambil dari pandangan stereotip karakter putri di dalam novel dan dongeng. Para tuan putri pada kisah-kisah urban itu seringkali digambarkan cantik, baik hati, dan dicintai banyak orang.
Sebab itulah, orang yang mengalami princess syndrome cenderung merawikan diri sebagai sosok yang luar biasa dan penting untuk diperlakukan layaknya seorang putri. Mereka juga merasa lemah, sehingga perlu diselamatkan oleh sosok ksatria.
“Beberapa orang yang mengalami princess syndrome merasa terlalu baik untuk mendapatkan sesuatu dengan usahanya sendiri. Mereka mungkin dapat menjadi mata duitan, memanipulasi pasangan untuk memperoleh apa yang ‘pantas’ tanpa usaha sendiri,” jelas Irwin, dikutip dari laman drnancy.com, Jumat (3/3).
Bermula dari Pujian Berlebihan
Penyebab sindrom yang demikian berkaitan dengan pola asuh orang tua. Misalnya, memberi pujian berlebihan atau label seorang ‘putri’ pada anak, sehingga berimbas pada harga diri si buah hati.
Barangkali, pujian tersebut dimaksudkan agar anak merasa dirinya berharga. Sayang, anak-anak belum bisa menangkap makna jelas dari pujian itu, sehingga menimbulkan kesalahpahaman yang berisiko mereka yakini hingga dewasa.
Hal ini memicu mereka berpikir bahwa orang lain selain orang tua juga akan memperlakukan dirinya sebagai sosok istimewa dan tumbuh dengan harga diri itu.
Sosok yang Narsistik
Irwin menyebut pengidap princess syndrome cenderung berperilaku narsistik atau histrionik, di mana mereka merasa harus selalu menjadi pusat perhatian di tengah keramaian. Sebab itulah, mereka akan terobsesi pada penampilan dan citra diri yang sempurna.
Obsesi yang demikian membuat mereka berorientasi pada penampilan. Bagi beberapa orang yang mengalami princess syndrome, harga diri dapat dibangun dengan berpenampilan cantik.
Karena itu pula, mereka cenderung menghindari melakukan sesuatu karena alasan yang tidak relevan. Seperti, enggan mengangkat barang lantaran takut berkeringat.
Mereka pun sering mengeluh, merengek, bimbang, dan merasa segala sesuatu tidak cukup baik untuk dirinya. Sehingga, terkadang mereka tidak segan-segan meminta orang lain melakukan sesuatu dan merasa itu sebagai kewajibannya.
Selain itu, pengidap princess syndrome juga cenderung merasa bersaing dengan wanita lain., terus menunjukkan kebutuhan ingin barang, pujian, atau uang.
Juga, memiliki ekspektasi yang tidak realistis tentang bagaimana dirinya dan bagaimana dia harus diperlakukan oleh orang lain. Malahan, mereka pun merasa diri sendiri sebagai ‘pusat alam semesta.’