Nasional

“Seandainya Semua Orang Paham Kesetaraan Gender”

apahabar.com, JAKARTA – Manusia Indonesia memang sudah seharusnya melek dan sadar betapa kesetaraan gender dan strategi…

Featured-Image
Ilustrasi kesetaraan gender. Foto-Istimewa

bakabar.com, JAKARTA – Manusia Indonesia memang sudah seharusnya melek dan sadar betapa kesetaraan gender dan strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) dapat membawa lebih banyak keuntungan bagi negara ini, yakni kesejahteraan dan kualitas hidup yang lebih baik.

Oleh karenanya, publik sendiri harus paham betul posisi kesejahteraan manusia di suatu wilayah dibanding wilayah lainnya (Indeks Pembangunan Manusia / IPM), memastikan apakah ada kesenjangan antara pembangunan manusia perempuan dan manusia laki - laki (Indeks Pembangunan Gender /IPG), dan bagaimana tingkat partisipasi perempuan berada dalam ruang publik (Indeks Pemberdayaan Gender/ IDG).

"Tidak ada yang boleh tertinggal dalam Pembangunan Nasional. Jika ada satu kelompok yang tertinggal, utamanya kaum perempuan dan anak, maka negara ini akan kehilangan kesempatan untuk menjadi lebih baik lagi,” tegas tegas Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), Pribudiarta Nur Sitepu pada Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Tahun 2019 di Kupang, Kamis (27/6), dalam siaran persnya.

Kita, kata Pribudiarta, harus memastikan tingkat kesejahteraan antara kaum perempuan dan kaum laki-laki di seluruh wilayah Indonesia bisa tercapai.

“Penting bagi kita semua untuk memahami 3 ukuran untuk mengetahui tingkat kesejahteraan manusia, yakni IPM, IPG dan IDG," ujarnya.

Pribudiarta melanjutkan lebih rendahnya capaian kualitas hidup perempuan daripada laki-laki ditandai dengan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia pada 2015 yang masih berada pada angka 305 kematian per 100.000 kelahiran hidup.

Pada bidang ekonomi dan ketenagakerjaan, perempuan juga masih terbelenggu budaya dan norma yang menempatkan mereka pada pekerjaan rumah atau domestik dibanding pekerjaan sektor publik.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) 2017 perempuan berada di angka 50,89, sementara laki- laki 82,51. Tidak sampai di situ, ketika perempuan memutuskan untuk bekerja di sektor publik, mereka dihadapkan oleh kebijakan yang tidak responsif gender, seperti diskriminasi saat proses penerimaan pegawai hingga perbedaan upah tenaga kerja antara laki-laki dan perempuan.

Kita, lanjut Pribudiarta, tidak bisa memungkiri bahwa akar dari permasalahan tersebut adalah tingkat drop out kaum perempuan di tingkat Sekolah Dasar (SD) yang tinggi karena perempuan harus berumah tangga. Juga, rendahnya pendidikan orang tua tentang pentingnya pendidikan dan apresiasi masyarakat. Maka, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menjadi penting agar memastikan kaum perempuan tetap duduk di bangku sekolah.

Adanya perbedaan pembangunan gender yang masih terjadi antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) juga menjadi fenomena yang harus menjadi fokus bersama. Peringkat IPG pada 2018 tertinggi mayoritas ditempati oleh provinsi-provinsi di KBI, yakni Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan DI Yogyakart. Sedangkan tiga provinsi dengan capaian IPG terendah adalah Kalimantan Timur, Papua Barat dan Papua.

Asisten Administrasi Umum Provinsi NTT, Kosmas. D Lana mengatakan salah satu solusi permasalahan tersebut adalah agar para kepala daerah melibatkan basis PUG ke dalam rencana kebijakan dan anggaran wilayahnya masing-masing.

Pihaknya juga berharap agar Kemen PPPA bisa melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga pusat lainnya agar mendukung Provinsi NTT untuk mewujudkan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pemberdayaan Perempuan. Menurut Kosmas hal ini bisa menekan angka perdagangan orang dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Pribudiarta menuturkan bahwa penerapan kesetaraan gender dan strategi PUG demi menghapus diskriminasi gender dan kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah permasalahan lintas bidang, lintas sektor dan lintas wilayah.

“Penyelesaianya tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah pusat, tetapi juga perlu melibatkan pemerintah daerah, masyarakat, termasuk lembaga masyarakat dan swasta, dalam bentuk kemitraan dan kerja sama serta mengacu pada koridor pembagian kewenangan antara pusat dan daerah,” ujar Pribudiarta mengakhiri.

Baca Juga: Ketimpangan Gender Masih Terjadi di Kaltim

Baca Juga:Kemenkumham Dorong Kesetaraan Gender di Kalsel

Baca Juga: Lili Transgender 'Cantik' asal Banjarmasin Ingin Bersuami

Baca Juga: Kemenkumham Kalsel Dorong Pemda Memenuhi Aksi HAM 2019

Editor: Fariz Fadhillah

Komentar
Banner
Banner