Kalsel

“Hutan segala Rindu”, Sebuah Napas Bagi He Benyamine

apahabar.com, BANJARMASIN – Penyair asal Banjarbaru, HE Benyamine baru saja meluncurkan buku puisi terbarunya berjudul Hutan…

Featured-Image
Buku Hutan segala Rindu karya HE Benyamin dibedah di Kampung Buku Banjarmasin. Foto-Istimewa

bakabar.com, BANJARMASIN – Penyair asal Banjarbaru, HE Benyamine baru saja meluncurkan buku puisi terbarunya berjudul Hutan segala Rindu (HsR).

Karya terbaru ‘HE Benyamine’ ini dibedah oleh dua penyair perempuan yakni Hudan Nur dan Nailiya Hikmah yang dipandu oleh novelis Sandi Firly di area Kampung Buku Banjarmasin, Jumat (24/7) malam.

“Saya ulas buku ini dalam pandangan ekspresif, dalam bukunya Hutan segala Rindu. Kata atau diksi; rindu, berseliweran di buku itu. Ben menulis sebanyak 123 diksi,” kata Hudan Nur dalam sesi bincang-bincang.

Lewat pendekatan ekspresif yang meliputi latar belakang kehidupan Ben, Hudan memandang dalam buku itu ada ideologi yang dianut Ben, baik kepribadian, keinginan, dan harapan, serta antara hubungan dan peran sosial Ben dalam masyarakat.

“Bacaan-bacaan Ben, tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran Ben, dan cara kerja Ben dalam berproses kreatif. Artinya menyelami kehidupan Ben, sang kreator buku adalah refleksi dari apa yang dia kerjakan dan tuliskan,” ungkapnya.

Hudan menilai puisi Ben menyulut pemaknaan adagium, bahkan ia mempertanyakan kembali makna puisi bagi Ben?

“Puisi itu napas,” kata Ben, singkat.

Dalam kesehariannya, Ben memandang puisi selalu memberi napas dalam setiap rutinitasnya. Bicara kosmosentris, menurut Ben, terkadang ia tak sengaja melihat dan menyaksikannya secara langsung dalam wujud rindu.

“Apalagi di satu sisi teman-teman yang menyuarakan #SaveMeratus, perlahan semua akan mengalami perubahaan dan itu pasti,” ucap pria kelahiran 1967.

Ben menyebut ada bagian jembatan-jembatan untuk menyeberangi makna dalam buku HsR. Ia mengatakan Nailiya sudah menemukan jembatan itu. Pergeseran-pergeseran di masyarakat, kata Ben, kadang sering tak dapat dijangkau oleh sebagian besar orang.

“Seperti napas, puisi itu sebenarnya tidak pernah sepi. Sebagai penyair, seringkali mengaku sepi, padahal itu kontra-diktif. Sekalipun tidur, napas dalam puisi tak pernah berhenti. Begitu juga dengan pohon. Ia tak pernah berhenti bernafas,” pungkas Ben.

Sependapat dengan Ben, Nailiya juga memandang puisi sebagai nafas. Tiap kali menulis puisi, ia seakan mendapatkan nafas dalam kehidupan.

“Puisi dapat memberi napas, di kala apapun. Berhubungan dengan alam semesta, semisal manusia terkena luka yang seketika itu sembuh sendiri. Namun berbeda dengan alam, ia tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri,” tandasnya.

Bedah buku tersebut dihadiri para penyair, sastrawan dan penulis Kalsel seperti Noorhalis Majid, Sri Naida, Gusti Ardiansyah, Imam Bukhori, Sumasno Hadi, Ananda Perdana Anwar, Yulian Manan, Lupi Anderiani dan Novyandi Saputra.

Editor: Puja Mandela



Komentar
Banner
Banner