Menakar Keseriusan Pemerintah Menangani Sampah di Banjarmasin

Pengelolaan sampah rumah tangga sudah menjadi persoalan umum di sejumlah kota padat penduduk, demikian pula di Banjarmasin.

Kondisi sampah di TPA Basirih yang semakin menggunung. Foto: apahabar.com/Dokumen

apahabar.com, BANJARMASIN -Pengelolaan sampah rumah tangga sudah menjadi persoalan umum di sejumlah kota padat penduduk, demikian pula di Banjarmasin. Namun sekian tahun berjalan, persoalan ini bak benang kusut yang sulit diurai.

Banyak yang menyebut perilaku masyarakat pengusung pola hidup instan menjadi satu faktor penyebab.

Tengok saja salah satu titik di Jalan Jafri Zamzam menjelang malam. Sekalipun bukan Tempat Pembuangan Sementara (TPS), tetap saja warga menumpuk sampah di tempat ini.

Seorang pria tua membuang sampah di sisi jalan Jafri Zamzam yang bukan TPS. Foto: apahabar.com/Riyad

Pun sejumlah TPS liar bisa dengan mudah ditemukan di sudut-sudut Banjarmasin. Salah satunya di sekitar Kompleks Persada, Kelurahan Alalak Tengah, Kecamatan Banjarmasin Utara.

Terlihat dua TPS liar. Meski sudah dipasang spanduk untuk tidak membuang sampah sembarangan, tetap saja ada warga yang tidak menghiraukan imbauan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) ini.

Di sudut-sudut lain, TPS liar juga bisa ditemui di Jalan Pramuka Kecamatan Banjarmasin Timur, Jalan Sutoyo S di Kecamatan Banjarmasin Tengah, atau Jalan Tembus Mantuil di Kecamatan Banjarmasin Selatan.

Tumpukan sampah yang akhirnya dibakar di Jalan Gubernur Soebardjo Banjarmasin. Foto: apahabar.com/Riyad

TPS liar juga terlihat di Banjarmasin Barat, tepatnya Jalan Gubernur Soebardjo. Bahkan sampah di tempat ini sudah terlalu banyak dan tidak terangkut, sehingga mulai dibakar warga.

"Oleh karena sampah terlalu banyak, makanya ada yang membakar," papar seorang pengepul sampah.

Ironisnya TPS resmi di Banjarmasin tidak jauh lebih baik. Contohnya TPS Kelurahan Gadang di Kecamatan Banjarmasin Tengah. 

Kondisi TPS di Kelurahan Gadang yang meluber akibat kapasitas berlebihan dan perilaku pembuang sampah. Foto: apahabar.com/Riyad

Sejumlah pengendara yang melintas dengan bebas melempar sampah. Sebagian besar lepat dari sasaran, sehingga berserakan di jalan. 

Padahal Perda Banjarmasin Nomor 21/2011 Tentang Pengelolaan Persampahan/Kebersihan dan Pertamanan dengan tegas mengatur warga hanya boleh membuang sampah ke TPS mulai pukul 20.00 sampai 06.00. Alhasil TPS tak pernah benar-benar kosong.

Padahal TPS itu berdampingan dengan SMPN 10 Banjarmasin dan SDN Gadang 2 , serta sebuah puskesmas pembantu.

Salah seorang warga yang berjualan di sekitar TPS, Nia, mengaku prihatin dengan kondisi itu. Ia menyinggung peletakan bak sampah portabel yang memakan hampir separuh badan jalan. 

“Kalau terus dibiarkan, kasihan anak-anak sekolah, orang berobat dan pengendara. Selain memakan jalan, bau sampah TPS itu juga sangat mengganggu,” keluh Nia.

"BIasanya menjelang pukul 22.00 Wita, sampah di TPS itu semakin penuh hingga empat kali lipat. Sebagian sampah hampir menutup jalan dan berserakan sampai ke depan gerbang sekolah," sambungnya.

TPS Gadang yang melebihi kapasitas, juga dikeluhkan warga di Kelurahan Melayu, Kelurahan Seberang Masjid, dan kelurahan lain yang terdekat. 

Air sampah yang keluar dan menggenang di jalan, turut merusak aspal, "Padahal sudah berkali-kali ditambal, tetap saja rusak lagi," papar warga yang lain.

Nia hanya berharap Pemko Banjarmasin mempunyai solusi konkrit. Seandaiya TPS dipindah, warga akan semakin jauh membuang sampah. Artinya solusi yang diberikan bukan malah menimbulkan masalah lain.

Kondisi TPS resmi yang tidak tertata dengan baik, juga ditemukan di Lingkar Dalam Selatan, Kelurahan Pekapuran Raya, Banjarmasin Timur.

Kondisi TPS di Lingkar Dalam Selatan yang beberapa kali dikeluhkan pengguna jalan. Foto: apahabar.com/Riyad

Tumpukan sampah yang menjorok ke jalan raya nyaris selalu terlihat hingga siang. Tak pelak kondisi ini mengganggu banyak penggunan jalan.

"Saya sebagai pengendara merasa terganggu, karena sampah yang meluber ke jalan itu sering menyebabkan macet," ketus Hans (21), salah seorang pengendara.

Kondisi demikian juga bisa dilihat di TPS Cemara Raya di Banjarmasin Utara. Serakan sampah hampir menutupi separuh ruas jalan, terlebih dini hari.

Kondisi TPS di Cemara Raya yang berpotensi menyebar ke berbagai tempat, karena berdekatan dengan sungai. Foto: apahabar.com/Riyad

Turut mengkhawatirkan lantaran TPS itu hanya berjarak beberapa meter dari sungai. Bukan tidak mungkin beberapa sampah terjatuh ke aliran air.

Selain TPS liar maupun resmi yang memprihatinkan, benang kusut penanganan sampah di Banjarmasin bisa tergambar di TPA Basirih.

Bahkan diyakini TPA Basirih yang menjadi satu-satunya tempat pembuangan akhir di Banjarmasin, hanya akan bertahan hingga dua tahun ke depan.

Peningkatan jumlah penduduk di Banjarmasin menjadi salah satu faktor penentu. Dalam setiap hari, kurang lebih 400 sampai 500 ton sampah dikirim ke TPA seluas 39 hektare itu.

Persoalan di TPA Basirih ini disinyalir menjadi salah satu faktor penyebab kegagalan Banjarmasin meraih penghargaan Adipura 2023.

Banyak Inovasi

Kepala Bidang Kebersihan dan Persampahan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banjarmasin, Marzuki, mengakui persoalan sampah di Kota Seribu Sungai memang cukup pelil.

Pria yang akrab disapa Jack itu mengakui perilaku masyarakat menjadi salah satu faktor masalah. TPS yang melebihi kapasitas dan keberadaan TPS liar menjadi sederet contoh.

"Terdapat beberapa inovasi yang dilakukan untuk mengurai persoalan sampah. Salah satunya Surung Sintak yang berjalan sejak November 2020. Konsepnya warga yang bertempat tinggal jauh dari TPS, pengelolaan sampah ditangani kelurahan," jelas Marzuki.

Surung Sintak mencakup 15 titik layanan di 10 kelurahan. Juga mengerahkan 225 petugas gerobak dan 6 mobil konvektor untuk mengangkut sampah yang rata-rata berjumlah 22 ton per hari ke TPA Basirih.

Diyakini Surung Sintak bisa mengurangi ketergantungan terhadap TPS. Itu dibuktikan penurunan jumlah TPS dari 100 menjadi 80 dalam lima kecamatan di Banjarmasin. 

"Program lain adalah pemanfaatan sampah-sampah organik yang berjumlah 60 persen dari produksi sampah per hari di Banjarmasin," jelas Marzuki.

"Meski belum maksimal, kami telah berupaya. Seperti yang dilakukan di TPS3R dan bank sampah untuk pembuatan pupuk maupun rencana budidaya maggot," imbuhnya.

Hasil pemanfaatan itu dapat mengurangi 2 ton sampah yang dibawa ke TPA Basirih setiap hari.

Selain Perda Nomor 21/2011, Pemko Banjarmasin memiliki Perwali Nomor 18/2016 yang meregulasi pengurangan penggunaan sampah plastik di minimarket. Aturan ini juga dianggap berhasil mengurangi 12 ton sampah per hari.

Kemudian program Bawah Barumahan Barasih Sampah (B'Babasah) yang dijalankan sekitar satu tahun terakhir. Dikerjakan oleh masyarakat, kelurahan, kecamatan, dan stakeholder lain.

Program b'babasah ini menyasar 100.000 kolong rumah warga di pinggiran sungai agar bersih dari sampah. Melalui program ini, diharapkan bisa mengurangi setidaknya 30 persen jumlah sampah per hari.

"Sementara terkait TPA Basirih, kami mengusahakan untuk menambah sekitar 4 hektare luasan lahan dalam tahun anggaran 2023 ini. Baik dari APBD murni dan sisanya dimasukkan ke APBD Perubahan," beber Marzuki.

"Kemudian akan dilakukan pembenahan di TPA agar gas metan yang dihasilkan bisa disalurkan untuk warga sekitar," sambung pria yang biasa disapa Jack ini.

Diprediksi perluasan lahan TPA yang bakal dibeli itu cukup untuk menampung sampah hingga dua sampai empat tahun kedepan.

Pemkot Banjarmasin juga akan menekan pengembang perumahan untuk menyiapkan lahan khusus untuk penampungan sampah. Kalau tidak dipenuhi, izin pembangunan takkan diterbitkan.

"Setiap pengembang wajib menyediakan tempat atau lahan untuk TPS3R atau TPS dengan kapasitas yang cukup sesuai dengan jumlah penduduk," tekan Marzuki.

Juga diusulkan agar Perda Nomor 21/2011 direvisi demi memasukkan klausul khusus mengenai aturan manajemen sampah dari masyarakat sebelum dibuang ke TPS. 

"Revisi diperlukan untuk mengatur manajemen sampah. Terkait revisi ini, kami sudah mengusulkan ke DPRD Banjarmasin," tegas Marzuki.

Tuntutan Political Will

Potret tumpukan sampah di TPA Basirih Banjarmasin. Foto: apahabar.com/Riyad

Sementara Ketua Komisi III di DPRD Banjarmasin, Hilyah Aulia, juga menegaskan persoalan sampah di Banjarmasin menjadi salah satu atensi. Dinilai kurang maksimal, khususnya jumlah petugas maupun peralatan, serta political will pemangku kebijakan.

"DLH masih belum punya alat pencacah sampah. Makanya jumlah sampah selalu berlebihan. Kalau memang diperlukan, pencacah sampah akan dianggarkan untuk 2024," ungkap Hilyah, Jumat (6/10).

Hilyah juga mengakui bahwa persoalan penanganan sampah bukan semata tanggung jawab DLH. Melainkan semua SKPD, kepala daerah, bahkan masyarakat  juga harus punya kesadaran.

"Kalau semua tugas penanganan sampah disandarkan kepada DLH, persoalan ini tidak akan bisa terselesaikan. Terlebih pertumbuhan jumlah penduduk kian pesat," tegas Hilyah.

"Kedepan Pemko Banjarmasin wajib punya gagasan yang benar-benar terfokus terhadap penanganan sampah. Pun Wali Kota Banjarmasin harus mengambil kebijakan yang berkaitan dengan penanganan sampah," sambungnya. 

Misalnya dalam semua kegiatan yang digelar dari tingkat kelurahan, kecamatan hingga SKPD. Hilyah berharap jangan lagi menggunakan produk-produk yang bisa menghasilkan sampah seperti minuman dalam kemasan.

"Pemko Banjarmasin jangan hanya bisa menggelar berbagai event, tapi semestinya juga memikirkan pengelolaan sampah yang dihasilkan dan cara penanganan," ketus Hilyah.

''Seharusnya kalau pelaksana kegiatan dinilai tidak mendukung penanganan sampah, kepala daerah berhak menunda atau menolak pelaksanaan kegiatan," tambahnya.

Kemudian di bagian pengarsipan, Pemko Banjarmasin harus sudah meminimalisir atau bahkan tidak lagi menggunakan kertas, "Saatnya bermigrasi dari arsip manual ke digital," sarannya.

Berikutnya adalah para wirausaha baru atau UMKM di bawah naungan Pemko Banjarmasin. Mereka harus diberikan edukasi agar menghasilkan produk yang minim sampah.

Selanjutnya Dinas Pendidikan Banjarmasin semestinya dibebankan tugas menumbuhkan kesadaran pengelolaan sampah di sekolah, serta penggunaan produk ramah lingkungan.

Begitu juga pegawai di lingkup pemerintahan harus diwanti-wanti untuk tidak membeli barang yang berpotensi menghasilkan sampah.

Bahkan kalau diperlukan, Wali Kota Banjarmasin mesti menjalin koordinasi dengan  Pemprov Kalimantan Selatan dan kabupaten tetangga seperti Banjar, mengenai persoalan tersebut.

"Diduga masyarakat dari Banjar menambah buangan sampah ke Banjarmasin. Ini juga harus dikontrol oleh Pemko Banjarmasin," cetus Hilyah.

Sanksi Lembek

TPA Basirih Banjarmasin. Foto: apahabar.com/Riyad

Hampir senada dengan Hilyah, pengamat tata kota Nanda Febryan Pratamajaya menilai kebijakan Pemkot Banjarmasin terkait penanganan sampah masih belum optimal.

"Wajar kalau Banjarmasin tidak mendapat Adipura. Seandainya kembali dapat tahun ini, banyak yang mesti dibenahi," kritikn Nanda, Rabu (4/10).

"Sejatinya aturan-aturan yang berkaitan dengan sampah sudah baik. Persoalan terletak kepada implementasi yang belum terukur, baik dari manajemen sampahnya, penerapan, maupun penegakan sanksi," imbuhnya.

Dari sisi pelayanan sampah di masyarakat, Pemko Banjarmasin semestinya menyediakan sarana memadai seperti TPS yang mudah dijangkau semua masyarakat.

Seandainya sarana ini sudah terpenuhi secara teknis, Pemko Banjarmasin harus berani menegakan sanksi di masyarakat. Sanksi ini diperuntukkan masyarakat yang tidak taat membuang sampah sesuai tempat dan jam tertentu.

Bisa juga para pengepul sampah yang kerap mengais TPS, sehingga dengan sengaja menghamburkan sampah ke jalan.

"Penegakan sanksi ini belum maksimal. Padahal sebenarnya mudah, karena Pemko Banjarmasin punya ratusan petugas Satpol PP. Kalau memang mau serius, sebaiknya mereka diturunkan," seru Nanda.

Setidaknya dengan penegakan sanksi, masyarakat juga segan. Ujungnya adalah masyarakat semakin sadar dengan pengelolaan sampah rumah tangga.

"Masyarakat juga bisa menerapkan pola konsumsi yang tidak mubazir. Barang-barang yang masih layak pakai, sebaiknya jangan langsung dibuang karena masih bisa didonasikan," usul Nanda.

"Begitu pula seperti sampah yang bisa dipilah terlebih dahulu. Misalnya sampah organik bisa dimanfaatkan untuk pupuk. Kemudian box kertas, botol plastik dan lainnya disalurkan ke bank sampah," tambahnya.

Sementara pengamat lingkungan hidup, Hamdi, juga menilai Pemko Banjarmasin masih setengah hati melakukan penanganan sampah.

"Pemko Banjarmasin tidak punya road map yang jelas, sehingga tidak konsisten terhadap beberapa langkah penanganan," ketus Hamdi yang juga mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Banjarmasin.

"Dulu ketika rapat, peserta diminta untuk membawa botol minum sendiri dan dilarang memakai produk minuman kemasan. Sekarang kebijakan ini sudah tidak jalan lagi," bebernya.

Justru Pemko Banjarmasin kerap beralasan selalu kekurangan petugas dan armada pengangkutan, hingga TPA yang penuh. Padahal pola pikir kumpul, angkut, buang sudah tidak relevan lagi.

"Hal yang terpenting sekarang adalah mencegah peluang timbunan sampah. Kalau minimarket dapat ditata dengan Perwali Nomor 18/2016, pelarangan plastik di pasar tradisional cukup sulit dilakukan," beber Hamdi.

"Tentu penertiban plastik di pasat tradisional akan memakan waktu yang lama. Namun kalau tidak dari sekarang, kapan lagi memulai kebijakan ini?" sambungnya.

Sebagai langkah awal, Hamdi mengusulkan agar Pemko Banjarmasin membuat pasar percontohan. Dalam teknis pelaksanaan, harus dibuat pemetaan pedagang berdasarkan jenis dagangan.

"Oleh karena pedagang kelontong dinilai lebih jarang menggunakan plastik, harus dibuat komitmen bersama untuk tidak menggunakan plastik lagi. Baru kemudian menyasar pedagang basah," jelas Hamdi.

"Kalau berhasil di satu pasar, seyogyanya bisa menjadi contoh di pasar lain. Ini harus dimulai dari sekarang!" tegasnya.

Kemudian Pemko Banjarmasin lebih aktif melakukan sosialisasi meningkatkan kesadaran masyarakat terkait sampah, terutama memilah sampah basah dan kering. Termasuk cara memanfaatkan sampah dengan dijual ke pengepul atau bank sampah.

"Selain pasar percontohan, Pemko Banjarmasin bisa membuat kawasan percontohan pemanfaatan sampah rumah tangga. Tentu saja sebelum dimulai, mereka harus diberi pelatihan," papar Hamdi.

Dengan asumsi lima kelompok di setiap kecamatan, berarti terdapat puluhan kelompok yang mampu mengolah kompos dari sampah organik. Kegiatan  ini kemudian dikerjasamakan dengan Dinas Pertanian untuk memberikan bibit tanaman.

"Setiap kelompok diberi bibit beragam untuk memanfaatkan pupuk kompos itu. Misalnya kelompok tomat, terong atau cabai. Kalau upaya ini berhasil, masyarakat yang lain diharapkan bisa mencontoh," tutur Hamdi.

Selain kalangan internal, Pemko Banjarmasin juga dianjurkan merangkul unsur eksternal seperti perguruan tinggi dan media. Mengingat jumlah yang terus bertambah, media bisa dirangkul untuk menjadi provokator positif yang memotivasi masyarakat.

"Kalau semuanya bisa berjalan, akan muncul dampak positif atas upaya pengurangan jumlah sampah yang dikirim ke TPA," harap Hamdi.

"Otomatis kalau angkutan berkurang, akan terjadi efisiensi biaya operasional. Dana ini bisa digunakan untuk mensubsidi kelompok masyarakat tadi," pungkasnya.