bakabar.com, BANJARMASIN – Sidang perdana perkara korupsi pembangunan Jembatan Tarungin – Asam Randah di Kabupaten Tapin dengan agenda pembacaan dakwaan digelar di Pengadilan Negeri Tipikor Banjarmasin, Selasa (18/11).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Tapin menghadirkan dua Terdakwa. Aulia Rahman, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Dinas PUPR Tapin dan Noor Muhammad selaku Direktur CV Cahaya Abadi. Keduanya menjalani sidang dakwaan secara terpisah.
Menariknya dalam sidang perdana ini, akal - akalan PPK dan kontraktor pun terbongkar di berkas dakwaan. Tak hanya pada soal proyek jembatan yang mangkrak, tetapi bagaimana rangkaian keputusan administratif yang diduga diatur sedemikian rupa hingga menimbulkan kerugian negara lebih dari Rp1,5 miliar dibeberkan dalam dakwaan.
Dalam surat dakwaanya, JPU Yopi Wahyu Gustiansyah, menempatkan Rahman sebagai figur kunci yang diduga membiarkan proyek “jalan di tempat” meski uang muka 30 persen atau Rp1,33 miliar sudah cair.
JPU memaparkan, Rahman tak menjalankan fungsi pengendalian kontrak maupun pengawasan di lapangan. Alhasil dampaknya begitu fatal. Selama tujuh pekan, progres fisik tetap nol persen. Saat kontrak berakhir, realisasi baru mencapai 7,73 persen, bahkan setelah diaudit hasilnya terkoreksi hanya 5,97 persen.
“Sejak minggu pertama hingga minggu ketujuh, progress pekerjaan tetap nol persen,” ujar JPU Wahyu di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Indra Meinantha Vidi.
JPU juga menonjolkan praktik “peminjaman bendera” perusahaan sebagai akar persoalan. Proyek senilai Rp4,94 miliar itu dimenangkan CV Cahaya Abadi, namun pekerjaan sepenuhnya dijalankan orang lain. Bernama Ridani (berkas perkara terpisah).
Meski mengetahui soal itu, Rahman malah tutup mata. Sebagai PPK tetap meloloskan administrasi hingga pencairan uang muka. Setelah uang cair ke rekening CV Cahaya Abadi, Noor Muhammad langsung mengalihkan kepada Ridani senilai Rp1,289 miliar.
Selain itu, ketika pekerjaan mandek dan progres fisik hanya mencapai 1,09 persen hingga pekan ke delapan, Rahman hanya mengeluarkan surat peringatan. Lalu memberikan toleransi berupa perpanjangan waktu 50 hari kepada kontraktor.
Padahal aturan melarang proyek yang melewati tanggal 30 November diberi kesempatan penyelesaian pada tahun anggaran berikutnya.
“Pemberian tambahan waktu ini melanggar ketentuan PMK 109/2023,” ucap Wahyu.
JPU juga menyoroti keputusan Rahman yang tidak mengajukan pencairan jaminan pelaksanaan sebesar Rp247 juta ke Bank Kalsel meski pekerjaan tidak berjalan. Ketika masa berlaku jaminan habis, bank menolak pencairan sehingga potensi pemulihan kerugian negara hilang.
“Ini menyebabkan kerugian keuangan negara semakin besar. Hasil perhitungan BPKP Perwakilan Kalsel mencatat total kerugian negara akibat perkara ini mencapai Rp1.523.351.143,64,” jelasnya.
Atas perbuatannya, Aulia didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU Tipikor serta Pasal 3 UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagai dakwaan subsidair.
Perkara ini merupakan lanjutan dari penyidikan Kejari Tapin sebelumnya, yang telah menetapkan tiga tersangka dalam perkara rasuah Jembatan Tarungin–Asam Randah, Aulia Rahman (PPK), Noor Muhammad (Direktur CV Cahaya Abadi), dan Ridani (pelaksana lapangan).
Penetapan Ridani sebagai tersangka diumumkan Kejari Tapin pada 5 Agustus 2025, di mana ia diduga menerima pencairan uang muka namun tidak mengerjakan proyek sesuai kontrak.