bakabar.com, BANJARMASIN – Mewakili DPR RI, Arteria Dahlan telah membantah jika Rancangan UU Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 8 Tahun 2022 yang bermuatan pemindahan ibu kota dari Banjarmasin ke Banjarbaru tidak melibatkan partisipasi publik.
"RUU Provinsi Kalsel dengan melibatkan Pemprov Kalsel, DPRD Kalsel, LSM, di Banjarmasin. Berdasarkan uraian tersebut di atas, UU Nomor 8/2022 telah memenuhi asas keterbukaan sesuai konstitusional sesuai dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan Peraturan DPR Pembentukan UU," ujar Arteria.
Lantas benarkah klaim demikian? Sesuai fakta dalam sidang ketiga uji UU Kalsel di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa kemarin (19/7), nyatanya klaim Arteria dipandang hakim belum terbukti benar.
Pasalnya, terkait keterangan Arteria, Hakim Konstitusi Prof Saldi Isra meminta agar DPR menyertakan alat bukti jika telah menampung aspirasi masyarakat. Majelis hakim belum melihat tindakan apa saja yang yang telah dilakukan DPR untuk menjaring aspirasi publik.
"Di dalam keterangannya, sudah diuraikan upayaâupaya yang dilakukan oleh DPR untuk menyerap aspirasi masyarakat di Kalimantan Selatan. Nah, tolong yang disampaikan Pak Arteria tadi, itu bukti-buktinya disampaikan ke Mahkamah segera,” tanya Saldi, dalam persidangan.
“Supaya kami bisa melihat tindakan atau upayaâupaya yang dilakukan yang tadi dijelaskan sebagai bagian dari menjemput aspirasi atau penyerapan aspirasi yang dilakukan oleh DPR kepada masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu di Kalimantan Selatan."
Arteria juga menyebut jika telah melibatkan DPRD Kalsel. Benarkah klaim demikian? Penelusuran bakabar.com, nyatanya DPRD Kalsel mengaku tidak ikut dilibatkan.
Maret 2022 lalu, Ketua DPRD Kalsel H Supian HK mengatakan tidak pernah ada permintaan dari Senayan, sebutan DPR RI, untuk DPRD Kalsel ikut mengodok aturan tersebut.
“Kalau melihat pembentukan Perda (UU) Kemarin, DPRD sangat dikecilkan karena tidak dilibatkan,” kata Supian ditemui di ruang kerjanya, Rabu (16/3) lalu.
Meski begitu, politikus Golkar ini mafhum. Sebab, persoalan rencana pemindahan ibu kota ke Banjarbaru, kata dia, sudah diatur sejak lama. Sudah ada sejak 1956. Sudah disetujui oleh Presiden Soekarno kala itu.
“Banjarmasin lebih cocok dijadikan kota perdagangan,” ujar Supian.
Bagaimana dengan Pemkot dan DPRD Banjarmasin? Tentu saja tidak dilibatkan. Pasalnya, jika mereka dilibatkan, tak mungkin lahir pengajuan permohonan uji UU Provinsi Kalsel ke MK.
Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina, dan Ketua DPRD Banjarmasin Harry Wijaya menyatakan dalam proses pembentukan UU Provinsi Kalsel tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Secara khusus, DPR RI tidak pernah datang ke Banjarmasin untuk langsung menampung aspirasi masyarakat.
Ibnu menganggap pembentukan UU Provinsi Kalsel juga tidak memerhatikan keserasian hubungan pemerintah pusat daerah. Terbukti dengan tidak adanya penetapan DPRD Kalsel dalam rapat paripurna untuk memutuskan ibu kota provinsi berpindah dari Banjarmasin ke Banjarbaru.
Dan sebagai pemangku kepentingan pemerintah daerah, kata Ibnu, Pemkot Banjarmasin pun tidak pernah dilibatkan. Mulai dari tahap pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi hukum dan menjadi rancangan yang diajukan dalam penetapan RUU.
Lantas bagaimana soal legal standing yang dipertanyakan Arteria Dahlan? Kuasa hukum pemohon, Muhammad Pazri melihat pernyataan politikus PDIP tersebut tidak berdasar.
“Soal Kadin, Forkot [unsur masyarakat], wali kota dan DPRD Kota Banjarmasin mengajukan judicial review yang dipemasalahkan oleh DPR RI sangat tidak berdasar, karena saat ini sudah masuk tahap keterangan atau jawaban sehingga sudah klir pada saat sidang pendahuluan dan di rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) MK,” ujar Pazri dihubungi bakabar.com, Rabu (20/7) malam.
Dalam keterangannya, Arteria yang mengikuti persidangan secara daring dari Gedung DPR RI, Jakarta turut menyoal kedudukan hukum atau legal standing para pemohon.
Adanya pemindahan ibu kota Provinsi Kalsel, menurutnya tidak menyebabkan para pemohon terhalang dalam melaksanakan profesinya. Baik sebagai badan hukum privat, karyawan swasta, pedagang, buruh harian lepas.
Apabila tidak merasa dilibatkan dalam pembentukan UU Provinsi Kalsel, sambung Arteria, maka perlu dipahami jika dalam pembentukan suatu UU melibatkan sekelompok orang yang memiliki kepentingan atas substansi dari RUU yang relevan.
Selain itu, DPR mendapati bahwa dalam permohonan para pemohon tidak menjelaskan kepentingan dan pertautan langsung dalam pembuatan undang-undang.
"Sebab, pembentuk UU telah mengakomodir partisipasi publik dengan melakukan berbagai rangkaian kegiatan, mencari masukan dalam pembentukan UU a quo melalui pertemuan, rapat-rapat dengan berbagai unsur masyarakat, akademisi dan lainnya, mulai dari proses perencanaan, penyusunan sampai dengan pembahasan," sebut Arteria.
Arteria juga menyebut ada semacam pengingkaran atau pembangkangan oleh Wali Kota Banjarmasin, Ibnu Sina. Menurut Arteria, Ibnu selaku kepala daerah sudah mengucap sumpah janji untuk menjalankan segala UU dan Peraturan Perundang-undangan dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.
Soal itu, Pazri menjelaskan jika yang dipersoalkan Pemkot bukanlah UU, melainkan proses lahirnya UU Nomor 8/2022. “Bahwa penyataan tersebut [pembangkangan] juga sangatlah tidak berdasar karena untuk mengajukan judicial review adalah hak Pemkot dan DPRD Banjarmasin sebagai representasi pemerintah daerah berdasar UU 23/2014,” ujarnya.
Dalam siang ketiga tersebut, Pazri justru menemukan adanya keterangan yang janggal dari DPR RI dan pemerintah. Dalam pemamparan Arteria yang memakan waktu hingga 1 jam 20 menit, Arteria terkesan berbelit tanpa menjelaskan substansi siapa sebenarnya sosok penggagas pemindahan ibu kota Kalsel ke Banjarbaru.
“Karena biasanya hanya 30 menit membacakan keterangan baik itu dari DPR RI atau pemerintah, ini luar biasa antusiasnya mereka sampai dengan selesai sidang sekitar 1 jam 56 menit 40 detik ada apa?” tanya Pazri.
“Namun dari adanya keterangan Prof Saldi Isra dan Prof Enny Nurbaningsih, kami semakin optimis akan dikabulkannya permohonan yang menjadi harapan besar warga Banjarmasin,” sambung Pazri.
Ya dalam sidang, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menambahkan jika MK meminta agar pemerintah juga menyertakan RPJP Daerah Kalimantan Selatan Tahun 2005â2025 sebagai alat bukti. Ia melihat pemerintah belum menyertakannya sebagai alat bukti.
Sebelumnya, Tumpak Haposan Simanjuntak yang dihadirkan pemerintah dalam sidang ketiga tersebut menyebut perpindahan ibu kota Kalsel merupakan bagian dari rancangan agar Banjarbaru sebagai kota penyangga rencana pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik itu juga menyebut berdasar RPJP Kalsel 2005â2025, salah satu bentuk perwujudannya ialah pemerintah daerah mengatur tahapan persiapan pemindahan ibu kota Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru.
"Pemerintah sudah menyampaikan keterangan di sini. Tetapi, memang tidak ditunjukkan buktiâbuktinya juga di situ, ya? Jadi, nanti tolong disebutkan buktiâbuktinya. Salah satu bukti yang nanti tolong dilengkapi adalah Perda tentang RPJP daerah yang 2005â2025 tadi yang mengatakan, 'Sudah ada kajian sejak lama itu terkait dengan perpindahan ibukota tersebut'," ujar Prof Enny.
Respons Banjarbaru
Ramai-Ramai Gagalkan Pemindahan Ibu Kota Kalsel: Forkot Siap, DPRD Bulat
Di akhir sidang, Ketua MK Anwar Usman mengonfirmasi bahwa akan turut memeriksa keterangan dari Wali Kota Banjarbaru Aditya Mufti Ariffin pada sidang Rabu, 3 Agustus 2022. Bagaimana respons Ovie, sapaan Aditya?
Ovie rupanya belum mengetahui secara rinci hasil daripada sidang ketiga tersebut.
“Bahannya enggak disampaikan, tapi insyaallah kami siap,” ujar Ovie, Rabu (20/7).
Meski tak menjelaskan detail apa saja yang sudah dipersiapkan, namun Ovie optimistis ibu kota Kalsel yang baru tetap di Banjarbaru.
“Hari ini MK menolak judicial review terhadap perpindahan IKN [Ibu kota negara], insyaallah belajar dari itu, (Ibu kota provinsi) akan tetap di Banjarbaru,” yakinnya.
Sebagai bakal pihak intervensi, Ovie menyebut akan menyampaikan terkait hal-hal yang makin menguatkan Banjarbaru sebagai Ibu Kota Kalsel yang baru.
“Ya, nanti akan kami sampaikan dalam rangka mensukseskan Banjarbaru sebagai ibu kota Kalsel di MK. Soal kapan waktunya belum ada informasi detilnya,” cetusnya.
Diketahui sidang untuk tiga perkara yang mempersoalkan UU Provinsi Kalsel mulai digelar sejak Senin (23/5), panel hakim dipimpin oleh hakim konstitusi Saldi Isra. Ketiga perkara tersebut, yakni Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Banjarmasin (Pemohon I) dan sejumlah Pemohon perseorangan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kota Banjarmasin (Pemohon II, III, IV).
Para Pemohon menguji secara formil UU Provinsi Kalsel. Pemohon yang sama juga mengajukan Perkara Nomor 59/PUU-XX/2022 dan menguji secara materiil Pasal 4 UU Provinsi Kalsel tentang ibu kota. Sementara Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022 diajukan oleh Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina dan Ketua DPRD Banjarmasin Harry Wijaya. Ketiganya mempersoalkan UU Provinsi Kalsel yang bertentangan dengan UUD 1945.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Banjarmasin, misalnya, merasa telah dirugikan atas keberadaan UU Provinsi Kalsel. Dalam proses pembuatannya, mereka sama sekali merasa tidak dilibatkan.
Kadin menilai rencana pemindahan ibu kota provinsi ke Kota Banjarbaru akan berdampak pada sektor ekonomi. Terutama, bagi penyedia akomodasi dan usaha kuliner serta sektor konstruksi dalam penyediaan pembangunan fisik yang akan mengurangi kemajuan infrastruktur pendukung di Banjarmasin.
Sementara pemohon lain Forum Komunikasi Kota Banjarmasin menyatakan ketidakjelasan faktor mendasar dari pemindahan ibu kota Kalsel dapat merugikan mereka karena gejolak ekonomi akibat Covid-19, harga kebutuhan yang naik, dan alokasi APBD provinsi yang akan beralih untuk ibu kota baru sehingga kesejahteraan masyarakat tidak lagi menjadi hal yang prioritas.
Forkot menilai pendanaan besar untuk pemindahan ibu kota sebaiknya dapat digunakan untuk pemulihan Covid-19, bantuan-bantuan untuk masyarakat, dan dana pendidikan.
Secara historis, Forkot melihat Kota Banjarmasin memiliki peran penting dalam perkembangan Provinsi Kalimantan Selatan sejak masa 1500-an yang dijadikan pusat pemerintahan. Dengan mengubah kedudukan Kota Banjarmasin sama dengan melakukan pembelokan sejarah.
Untuk itu mereka memohon pada Mahkamah agar mengabulkan permohonan untuk seluruhnya dan menyatakan UU Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "Ibu kota Provinsi Kalsel berkedudukan di Kota Banjarmasin dan pusat pemerintahan di Kota Banjarbaru". (Nurul Mufidah dan Rizal Khalqi)
Ramai-Ramai Gagalkan Pemindahan Ibu Kota Kalsel: Forkot Siap, DPRD Bulat