bakabar.com, MARABAHAN – Tekad Edi Susanto menjadi tulang punggung keluarga berangsur sirna. Kecelakaan kerja membuat warga Desa Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon, Barito Kuala, ini harus kehilangan kedua lengan.
Insiden memilukan itu berawal 7 September 2018 sekitar pukul 15.00 Wita, ketika Edi bekerja memasang rangka atap aluminium Pasar Ikan Wangkang di Marabahan.
Edi yang baru sekitar tiga hari bekerja di lokasi itu, tidak menyadari kalau salah satu batang aluminium yang dipegang tersentuh kabel listrik bertegangan tinggi.
Seketika aliran listrik pun mengalir, sehingga membuat tubuh Edi terlempar ke bawah dari ketinggian sekitar 7 meter.
“Ketika jatuh ke tanah, saya masih dalam keadaan sadar. Namun pandangan gelap dan saya tidak mampu lagi merasakan kaki maupun tangan,” jelas Edi Susanto kepada bakabar.com, Kamis (24/3).
Selanjutnya Edi langsung dilarikan ke RSUD Abdul Aziz Marabahan untuk menjalani perawatan akibat luka bakar di kedua tangan dan telapak kaki.
Namun seminggu dalam perawatan, pria kelahiran Madiun 3 Juni 1997 ini harus menerima kenyataan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
“Sekitar seminggu dirawat, tangan kanan saya diharuskan diamputasi karena sudah tidak mungkin lagi diselamatkan,” lirih Edi.
Sekitar satu bulan dirawat di Marabahan, Edi meminta dirujuk ke RSUD Ulin Banjarmasin.
Namun kembali takdir berkata lain, setelah dua bulan dirawat dan menjalani enam kali operasi pemulihan tangan kiri di Banjarmasin.
“Seusai operasi keenam, kondisi tangan kiri saya bukan membaik, tapi mulai membusuk. Dikhawatirkan pembusukan itu akan berpengaruh ke jantung,” cerita Edi.
“Tentu saja perasaan saya hancur, karena harus kehilangan tangan lagi. Namun karena sudah menjadi pilihan terakhir, saya berusaha ikhlas,” tambahnya.
Selama perawatan di rumah sakit, biaya pengobatan ditanggung pemimpin perusahaan tempat Edi bekerja. Terlebih Edi belum memiliki asuransi kesehatan apapun.
Namun demikian, amputasi yang kedua itu tak urung sempat meruntuhkan semangat Edi, mengingat kecelakaan di tempat kerja diawali kekhilafan sendiri.
Sepatu bot plastik yang seharusnya tetap dikenakan, justru dilepas lantaran Edi kepanasan akibat terik sinar matahari.
Pun ketika meninggalkan Madiun selepas lulus SMP, Edi sudah bertekad membantu kakek dan nenek yang lebih dulu mengikuti transmigrasi di Simpang Nungki sejak 2007.
Diketahui Edi merupakan anak tunggal dan sempat dipelihara adik kandung sang nenek di Madiun, hingga akhirnya menamatkan SMP.
Sementara sang ibu, Sumini, ikut transmigrasi ke Simpang Nungki. Sedangkan sang ayah, bekerja di Surabaya dan memutuskan memiliki keluarga lagi.
Lantas sekitar dua bulan menetap di Simpang Nungki, Sumini meninggal dunia akibat tumor mata yang diderita selama bertahun-tahun.
“Kami ikut transmigrasi karena nyaris tidak memiliki apa-apa lagi di Madiun. Sebagian besar sudah dijual untuk keperluan berobat Sumini,” cerita Warijem (65), nenek Edi Susanto.
Edi sendiri baru mengetahui sang ibu sudah meninggal, ketika duduk di kelas VI Sekolah Dasar. Padahal kejadian ini sudah terjadi dua tahun sebelumnya.
“Kejadian tersebut memang sengaja dirahasiakan. Namun setelah lulus SMP, kami menjemput Edi di Madiun karena kami juga hanya tinggal berdua di Simpang Nungki,” timpal Slamet (65), kakek Edi Susanto.
Sempat Minder
Pertama kali tiba di Simpang Nungki, Edi Susanto langsung berusaha mencari pekerjaan. Berkat bantuan beberapa teman, Edi memperoleh pekerjaan sebagai tukang pasang rangka atap aluminium.
Selama tiga tahun bekerja, Edi mampu membeli sebuah sepeda motor. Di sisi lain, hasil lahan pertanian yang digarap Slamet dan Warijem, sudah memadai untuk kebutuhan harian.
Namun semuanya berubah sejak insiden 7 September 2018. Warijem tidak lagi bisa membantu Slamet di sawah, karena harus menjaga Edi Susanto di rumah.
Semua kebutuhan harian Edi mesti dilayani. Mulai dari menyuapi makan dan minum, memandikan, hingga mengenakan pakaian.
Kemudian sepeda motor yang dibeli Edi juga dijual. Selain untuk kebutuhan sehari-hari, Slamet maupun Warijem belum bisa mengendarai sepeda motor.
Praktis Slamet menjadi tulang punggung keluarga dan mengandalkan pertanian sebagai penghasilan utama. Untungnya mereka memperoleh Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp300 ribu per bulan.
“Hampir dua tahun saya hanya diam di rumah. Saya minder bergaul dengan kawan-kawan sekampung, serta tidak mungkin lagi kembali bekerja,” cecar Edi.
“Untungnya banyak kawan yang mengerti. Mereka sering menjemput saya untuk jalan-jalan. Saya juga mulai mencoba berlatih makan dan minum sendiri, karena tak ingin merepotkan kakek dan nenek terus,” imbuhnya.
Setidaknya dalam setahun terakhir, Edi perlahan bisa mengangkat gelas dan makan sendiri. Lantas untuk mengusir kejenuhan, sosok ramah ini mulai menekuni game Mobile Legend.
“Dulu saya suka bermain sepakbola dan futsal. Namun setelah kejadian, saya belum mencoba main lagi. Terlebih luka di telapak kaki saya baru benar-benar pulih dalam beberapa bulan terakhir,” jelas Edi.
“Meski cukup sulit dan mahal, saya berharap bisa mendapatkan tangan palsu, minimal satu. Lalu belajar desain grafis dan sablon untuk membantu penghidupan kakek nenek,” tandasnya.